SEIMBANG
Di suatu pagi yang cerah, tepatnya di minggu ke 2 November yang hampir bertepatan dengan hari lahir istri saya yang tercantik dan terbaik di dunia, saya berkesempatan untuk mengunjungi sebuah pusat riset dan pelatihan berteknologi sangat tinggi yang letak, lokasi, maupun namanya akan saya rahasiakan.
Perkembangan sains dan teknologi terkini dapat kita lihat dari sana, bahkan integrasi dari berbagai disiplin ilmu dan aplikasi di berbagai idang yang meliputi penjelajahan luar angkasa, eksplorasi laut dalam, energi baru dan terbaharukan, kesehatan genomik dan kedokteran presisi di masa depan, dan tentu saja teknologi AI, bahkan AI yang sangat advanced, jauh melampaui AI yang saat ini baru mendekati fase AGI (artificial general intelligence) ada di sana, dan bisa dipelajari sepuasnya.
Tapi memang bawaan senang dengan tubuh manusia dan cara bekerja berbagai mekanisme fisiologinya, maka pada saat melihat area pelatihan perjalanan ruang angkasa dengan berbagai wahananya, yang menarik perhatian saya adalah alat-alat tes keseimbangan manusia dalam menghadapi tekanan berbagai level G, perubahan gerak secara angular, dan berbagai skenario lainnya yang terhubung dengan pengoperasian pesawat ataupun wahana antar planet antar galaksi.
Meskipun di sana saya dapat mempelajari gene editing ala-ala CRISPR-Cas 9 dll, atau juga melihat konsep dan implementasi Situational Awareness berbasis sistem surveilans canggih yang bisa menjadi platform the next social credit system yang lebih merit dan pasti lebih rumit, tetap saja cinta saya pada ilmu faal tak tergantikan.
Saya malah nongkrong di stasiun keseimbangan yang faal banget tentunya. Saya selalu takjub melihat bagaimana manusia dapat beradaptasi dengan berbagai perubahan posisi, perubahan tekanan akibat laju kendaraan, meniti seutas tali di ketinggian seperti di pertunjukan sirkus yang dikenal sebagai trapeze. Walhasil saya asyik masyuk dengan khusyuk di lab faal luar angkasa. Belajar soal telinga, cerebellum, dan kerja otak dalam menghasilkan adaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Keseimbangan adalah salah satu fungsi fisiologis penting yang memungkinkan manusia (dan berbagai makhluk hidup lain) untuk bergerak secara efisien, stabil, dan aman. Bayangkan saja, bagaimana mungkin kita dapat berdiri tegak, berjalan, atau bahkan meniti seutas tali tanpa mekanisme keseimbangan yang andal?
Dalam kunjungan ke lab faal luar angkasa tersebut, saya menemukan banyak instrumen canggih yang digunakan untuk menguji toleransi terhadap perubahan gaya gravitasi (G-force) dan simulasi gerak angular. Alat-alat tersebut bukan hanya berfungsi untuk keperluan astronot, tetapi juga memberikan wawasan mendalam mengenai sistem keseimbangan manusia di Bumi, terutama cara otak, telinga bagian dalam (sistem vestibular), dan penglihatan (sistem visual) bekerja sama.
Sistem keseimbangan ini sangat “ajaib” karena melibatkan beragam reseptor, jalur saraf, dan integrasi sinyal otak, yang akhirnya bermuara pada koordinasi otot-otot postural. Mari kita mulai dari pusat kendali keseimbangan, lalu melangkah ke peran telinga bagian dalam dan bagaimana semuanya diorkestrasi oleh sistem saraf pusat, khususnya cerebellum.
Salah satu “pemain utama” dalam mekanisme keseimbangan tubuh adalah sistem vestibular yang terletak di telinga bagian dalam. Sistem ini terdiri atas beberapa struktur penting seperti, kanal Semisirkular (Semicircular Canals) yang rerdiri atas tiga kanal berbentuk setengah lingkaran yang saling tegak lurus (horizontal, superior/anterior, dan posterior).
Kanal ini berisi cairan yang disebut endolimfa dan dilapisi oleh sel-sel sensorik (hair cells) di bagian ampula. Ketika kita memutar kepala, cairan akan bergeser di dalam kanal-kanal tersebut, membengkokkan hair cells dan menghasilkan sinyal saraf. Sinyal ini kemudian dikirim ke otak (melalui saraf kranial VIII, atau vestibulocochlear nerve) untuk “melaporkan” gerakan angular kepala.
Lalu ada Utrikulus (Utricle) dan Sakulus (Saccule), dimana keduanya berisi hair cells yang tertanam dalam suatu lapisan gel (otolitik) dengan “batu-batu kecil” yang disebut otolit (terdiri dari kalsium karbonat). Utrikulus dan sakulus lebih sensitif terhadap gerakan linear (seperti akselerasi maju-mundur atau naik-turun) serta posisi kepala terhadap gravitasi (misalnya, miring ke kiri atau kanan).
Sistem vestibular ini adalah sensor primer untuk mendeteksi perubahan posisi dan pergerakan kepala. Dari sinilah informasi penting untuk menjaga keseimbangan tubuh pertama kali diolah dan dikirim menuju struktur otak yang relevan.
Bayangkan kita sedang berjalan di trotoar sambil melihat ke depan (hati-hati kalau di Jakarta dan Bandung, karena justru dari arah belakang akan banyak motor yang melaju di atas trotoar). Informasi visual dari mata memberi tahu kita tentang orientasi tubuh terhadap lingkungan. Mata membantu otak mengenali arah mana yang “atas” atau “bawah” dan seberapa cepat kita bergerak relatif terhadap objek di sekitar.
Ketika kita menengok ke kanan atau ke kiri, sistem penglihatan juga menyampaikan bahwa kita melakukan rotasi. Informasi ini diintegrasikan dengan sinyal dari sistem vestibular, apakah kita benar-benar berputar atau sekadar memutar kepala sebentar untuk melihat sekitar.
Jika informasi dari mata dan telinga bagian dalam tidak “matching”, kita bisa mengalami disorientasi, mual, atau pusing. Contoh paling umum adalah motion sickness saat berada di kendaraan yang bergerak tidak teratur, dimana mata mungkin melihat gerakan yang berbeda dari yang dirasakan telinga bagian dalam, sehingga otak “kebingungan” menafsirkan sinyal-sinyal tersebut.
Kemudian tentu ada sang Cerebellum, “Koordinator” keseimbangan manusia yang punya beberapa peran istimewa. Sering disebut sebagai “small brain” atau “otak kecil”, cerebellum adalah pusat koordinasi gerak dan keseimbangan. Ia tidak bekerja sendirian, melainkan terhubung dengan berbagai area otak lain, termasuk; korteks motorik yang memberi perintah gerak kasar, misalnya ketika kita ingin melangkah maju. Juga
batang otak (Brainstem) yang menerima informasi vestibular dan memfasilitasi refleks keseimbangan dan postur.
Basal Ganglia terlibat dalam regulasi pola gerak dan transisi gerakan halus.
Informasi dari proprioseptor di otot dan sendi, serta indra peraba pada telapak kaki, semuanya diintegrasikan untuk membantu kita mempertahankan postur tubuh yang stabil.
Melalui jalur-jalur saraf yang kompleks, cerebellum menyempurnakan gerakan dan mengatur ketepatan (presisi) serta timing. Misalnya, ketika kita berjalan di medan yang tidak rata, sinyal dari kaki dan sistem vestibular akan dikirim ke cerebellum untuk dihitung seberapa besar penyesuaian otot-otot postur yang dibutuhkan. Dengan begitu, kita tidak jatuh meski permukaan pijakan tidak rata.
Mari kita kembali lagi ke suasana di lab faal luar angkasa saat saya melihat alat-alat simulasi canggih ini. Di sini, astronot dilatih untuk menghadapi kondisi gravitasi yang lebih rendah (seperti di Bulan atau Stasiun Luar Angkasa Internasional) maupun kondisi gravitasi yang jauh lebih tinggi (saat peluncuran roket atau ketika pesawat melakukan manuver ekstrem).
Pada simulator yang memutar (centrifuge), astronot akan merasakan gaya yang berubah-ubah. Sistem vestibular merekam perubahan kecepatan rotasional, sedangkan mata bisa saja menangkap citra visual yang berbeda, terutama jika instrumen penunjang menampilkan “pemandangan” seperti luar angkasa.
Jika antara visual dan vestibular tidak terkoordinasi, akan timbul gejala mabuk ruang (space motion sickness).
Demikian pula saat gaya gravitasi meningkat (misalnya mencapai 2–3 G), otot dan sistem kardiovaskular harus bekerja lebih keras agar darah tetap dialirkan ke otak. Sistem vestibular dan cerebellum akan bekerja sama menyesuaikan kontraksi otot tubuh dan postur agar astronot tetap sadar dan tidak pingsan.
Dalam kondisi nyata di luar angkasa, informasi dari sistem vestibular menjadi kurang relevan karena tidak ada “tarikan” gravitasi bumi yang signifikan. Telinga bagian dalam kesulitan membedakan orientasi mana “atas” atau “bawah” tanpa referensi visual.
Cerebellum dan sistem saraf pusat akhirnya belajar lebih banyak mengandalkan mata dan “internal sense of position” (propriosepsi) untuk mempertahankan orientasi tubuh.
Dari berbagai mekanisme yang diuji melalui serangkaian eksperimen di lab canggih ini, saya menyadari betapa tubuh manusia didesain dengan sangat cerdas. Dikaruniai pula kemampuan adaptasi dan neuroplasticity. Di mana neuroplastisitas memungkinkan jaringan saraf untuk membentuk jalur-jalur baru atau memperkuat proses dan kinerja adaptif jalur atau sirkuit neuronal eksisting, terutama saat dihadapkan pada situasi lingkungan yang berbeda dari kebiasaan dan memerlukan mekanisme adaptasi yang luar biasa.
Mekanisme adaptasi pada perubahan lingkungan itu antara lain maujud dalam sebentuk refleks vestibulo-okular (Vestibulo-Ocular Reflex, VOR), dimana pada saat kepala bergerak, mata akan secara refleks bergerak ke arah berlawanan untuk menjaga fokus penglihatan tetap stabil pada titik yang sama. Pada kondisi gravitasi yang berbeda atau gerakan yang ekstrem, refleks ini mengalami penyesuaian cepat agar tetap efektif.
Dengan demikian pada saat kita mencoba berjalan di permukaan yang bergoyang, misalnya, atau melakukan balancing di papan titian kecil, akan “melatih” sistem vestibular, motorik, dan visual untuk beradaptasi. Banyak sejawat kedokteran fisik dan rehabilitatif, fisioterapis serta pelatih olahraga yang memanfaatkan latihan-latihan ini untuk merehabilitasi gangguan keseimbangan atau sekadar meningkatkan performa atletik, dan jangan lupa, ini sangat penting dan krusial untuk beberapa profesi khusus yang memerlukan kemampuan keseimbangan adaptif yang luar biasa, seperti pilot, astronot, dan pemain akrobat sirkus tentu saja.
Bagaimana jika ada sistem faal keseimbangan yang “mis” atau error? Disinilah salah satu peran cerebellum yang dikenal sebagai error correction akan dibutuhkan. Cerebellum dspat bertindak seperti “pengecek kesalahan” (error-checker) yang membandingkan gerakan yang sudah dilakukan dengan gerakan yang diinginkan. Jika ada ketidaksesuaian (meleset, kurang halus, atau tidak stabil), sinyal koreksi akan dikirim kembali ke otot dan jalur saraf terkait agar gerakan berikutnya lebih presisi.
Dari kunjungan incognito di lab faal luar angkasa yang penuh teknologi mutakhir serta penuh “rahasia” ini, kita bisa menyadari betapa hebatnya sistem keseimbangan manusia. Peran telinga bagian dalam (sistem vestibular) dalam mendeteksi perubahan posisi dan orientasi, kontribusi mata (sistem visual) sebagai panduan arah, serta sentralnya fungsi cerebellum (dan beberapa struktur otak lain) untuk mengolah seluruh sinyal saraf, di mana semuanya terkoordinasi demi satu tujuan: menjaga kita tetap tegak, stabil, dan siap beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Dalam konteks eksplorasi ruang angkasa, tantangan terhadap sistem keseimbangan menjadi jauh lebih besar karena kita dihadapkan pada kondisi gravitasi yang tidak sama dengan di Bumi. Namun, melalui mekanisme adaptasi alami dan kemampuan belajar otak, kita dapat terus menyesuaikan diri. Jadi, apakah kita sedang meniti seutas tali di atas panggung sirkus, berlari menembus hujan di jalanan licin, atau bahkan terbang menembus atmosfer untuk menjelajah galaksi, sistem keseimbangan tubuh, yang melibatkan mata, telinga bagian dalam, dan cerebellum; senantiasa menjadi penjaga keselamatan dan kemahiran gerak kita.
Semoga kisah singkat ini dapat menambah apresiasi kita bersama terhadap keindahan seluk-beluk ilmu faal manusia, khususnya tentang bagaimana tubuh dapat begitu adaptif dalam menjaga keseimbangan. Tidak peduli seberapa canggih teknologi dan pengetahuan baru ditemukan, pesona fisiologi manusia senantiasa menjadi pencerahan bagi kita, termasuk bagi saya yang akhirnya betah “nongkrong” di stasiun keseimbangan dan penelitian faal ini. Cinta saya pada ilmu faal jelas tak tergantikan.
> “Dalam berbagai relung tersembunyi tubuh manusia, tersimpan kecerdasan agung yang tak hentinya menyelaraskan diri dengan alam semesta.”
Bahan Bacaan Lanjut
1. Bear, M. F., Connors, B. W., & Paradiso, M. A. (2016). Neuroscience: Exploring the Brain (4th ed.). Wolters Kluwer.
2. Kandel, E. R., Schwartz, J. H., & Jessell, T. M. (2013). Principles of Neural Science (5th ed.). McGraw-Hill Education.
3. Tortora, G. J., & Derrickson, B. H. (2017). Principles of Anatomy and Physiology. Wiley.







