Dari Pasar Senen ke Lempuyangan, Lewat Bumiayu dan Karangsambung
Waktu baru menunjukkan pukul 9 lewat 14 menit saat saya melangkah riang sembari menghirup udara pagi yang sarat emisi gas buang kendaraan bermotor di dekat Tugu Tani depan Arya Duta. Tak lama saya menyeberangi jembatan dan melintas di depan Mako Marinir Kwitang yang beralamat di Jl Prajurit KKO Usman dan Harun no 32.
Kereta Argo Parahyangan yang saya naiki dari Bandung tiba tepat waktu, hingga saya punya banyak waktu luang untuk berpindah ke stasiun Pasar Senen, dimana saya terjadwal akan menaiki kereta ekonomi Jaka Tingkir pada pukul 11.55 BBWI (bagian barat wilayah Indonesia).
Terlintas pikiran lapar dari lambung yang meronta karena tak dituruti kehendaknya untuk jajan nasi Hainam dari toko Yomart di stasiun Bandung Utara, dan pikiran itu membujuk saya agar berbelok ke gang Pejambon V belakang gereja Immanuel di seberang Gambir, untuk sekedar mampir dan mencicipi tongseng Sri Rejeki. Tapi saya ingat, mungkin saja tongseng legenda para diplomat Indonesia itu belum tersedia.
Jadi saya terus melangkah ke arah Senin dan mulai mengatur rencana, apakah akan singgah di deretan kedai penjaja Kapau di sepanjang Kramat? Atau mungkin sedikit berbelok ke dalam gang dan sarapan coto Makassar. Atau mungkin maju sedikit ke arah Salemba dan mampir di rumah adik sepupuku Kuki Mobi dan Tante Tintin Mamanya untuk minta dibuatkan bubur Naga?
Ah sudahlah, janganlah kita dihantui soal makanan saja, bukankah asyik juga jika mampir sebentar di museum Kebangkitan Nasional yang semula adalah gedung sekolah Stovia? Waduh, pasti lama itu, dan bisa telat mengejar kereta loh. Sambil terus celingukan saya pun melanjutkan perjalanan ke arah stasiun Senen.
Mendekati perempatan dengan keriuhan kendaraan yang melintas fly over juga underpass, saya sempat melihat di sebelah kiri ada sebuah rumah makan dengan air terjun buatan yang asri. Tapi saya kok malah jadi kasihan ya, segitunya ingin kembali berdekatan dengan alam, hingga alam pun diciptakan kembali (re-kreasi) di tengah hingar bingar keriuhan serba berteknologi yang kita ciptakan sendiri.
Tak terasa saya telah duduk nyaman di kursi ujung kelas ekonomi KA Jaka Tingkir yang telah menggunakan gerbong refurbished karya Balai Yasa Manggarai. Bersih, dingin, dan nyaman, juga sepi. Mungkin karena tengah minggu dan tanggal tua. Karena kelaparan sayapun ketiduran. Jatinegara, Cikampek, bahkan Cirebon terlewati tanpa saya sadari. Saya mendusin saat kereta telah memasuki jalur tengah Jawa dan mendekati Bumi Ayu.
Sontak berbagai pikiran dan kenangan tentang Bumi Ayu melintas kembali di benak saya. Hipotesa tentang orang lapar itu dapat berpikir lebih kencang itu ada benarnya rupanya. Puzzle demi puzzle soal penemuan fosil manusia purba sampai berbagai fakta sejarah geologi dan arkeologi yang diajarkan Bapak Doktor Sofwan Noerwidi, Kepala Pusat Riset Arkeometri BRIN, mulai tersusun di otak saya.
Tak dapat dipungkiri bahwa Bumiayu, adalah wilayah penting dalam sejarah geologi awal Pulau Jawa. Karena di Bumiayu terdapat banyak bukti geologis dari tahapan pembentukan pulau Jawa sejak masa-masa awal. Bumiayu memainkan peran penting dalam memahami evolusi geologi Jawa, terutama terkait dengan proses-proses tektonik dan sedimentasi yang berlangsung selama jutaan tahun.
Pulau Jawa sendiri terbentuk melalui serangkaian proses geologi yang sangat panjang, yang sebagian besar dipicu oleh interaksi antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Sekitar 50-60 juta tahun yang lalu, selama periode Eosen, sebagian besar Jawa masih berada di bawah laut. Namun, selama periode ini, subduksi aktif di sepanjang batas selatan lempeng menyebabkan terjadinya pengangkatan kerak benua dan pembentukan gunung api di dasar laut.
Pada periode Oligosen (34-23 juta tahun lalu), aktivitas tektonik semakin intensif. Bagian dari Pulau Jawa mulai muncul ke permukaan sebagai daratan kecil yang disebut sebagai “pulau-pulau busur magmatik” yang terbentuk akibat aktivitas vulkanik bawah laut. Bumiayu, dalam konteks ini, mewakili salah satu kawasan yang mulai terangkat dari dasar laut pada waktu itu.
Bukti-bukti dari lapisan batuan di Bumiayu menunjukkan adanya formasi batuan vulkanik dan sedimen laut dalam yang berasal dari periode ini. Hal ini mengindikasikan bahwa Bumiayu adalah salah satu bagian awal dari Jawa yang terbentuk melalui proses pengangkatan dari dasar laut akibat aktivitas vulkanik dan tektonik.
Selama periode Miosen (23-5 juta tahun lalu), Jawa mengalami pengangkatan yang lebih signifikan, dan bagian selatan dari Jawa (termasuk Bumiayu) mulai muncul sebagai daratan lebih luas. Pada periode ini, Bumiayu mengalami proses sedimentasi yang kuat, termasuk endapan laut dangkal dan terumbu karang, yang menunjukkan bahwa wilayah ini dulunya berada di dekat pantai. Proses pengangkatan ini menyebabkan terbentuknya bentang alam yang kita lihat sekarang di sekitar Bumiayu, seperti perbukitan dan lembah.
Aktivitas vulkanik terus berlanjut, dan gunung-gunung api mulai mendominasi lanskap di bagian barat dan tengah Pulau Jawa. Gunung-gunung ini termasuk beberapa gunung api purba yang sudah tidak aktif sekarang, yang membantu menciptakan dataran tinggi di wilayah Bumiayu dan sekitarnya.
Pada periode Pliosen dan Pleistosen (5 juta hingga 10.000 tahun yang lalu), pulau Jawa semakin stabil dan sebagian besar sudah terbentuk seperti sekarang. Namun, aktivitas vulkanik terus berlanjut, menghasilkan gunung api-gunung api muda di sepanjang busur selatan Jawa. Wilayah Bumiayu, yang sudah terbentuk sebagai bagian dari Jawa Tengah, mengalami proses erosi yang kuat, menghasilkan lembah-lembah yang dalam dan bentang alam pegunungan yang kita kenal saat ini.
Lapisan batuan di Bumiayu mengandung fosil-fosil yang membantu para ahli geologi dan paleontologi memahami sejarah geologi dan ekologi di wilayah ini. Misalnya, penemuan fosil-fosil hewan purba di daerah ini memberikan bukti bahwa pada masa lalu, wilayah Bumiayu pernah dihuni oleh berbagai spesies fauna besar, yang juga menandakan adanya perubahan lingkungan dari laut menjadi daratan.
Tanpa terasa kereta mulai memasuki stasiun besar Purwokerto, rasa lapar semenjak dari Jakarta seakan mengajak saya untuk turun dan singgah saja di Purwokerto. Terlebih panggilan mie ayam depan kantor jalan rel Daop 5 yang bernama Mie Ayam Daplun begitu menggoda. Mie Ayam Daplun mungkin satu-satunya mie ayam di Indonesia yang memberi racikan kacang tanah di bumbu campurannya. Maka tak heran jika unsur umaminya terasa begitu kuat di papila perasa lidah saya.
Tapi saya mencoba meneguhkan niat dan menguatkan iman untuk setia pada Mangut Lele Girli Kutoarjo yang telah saya pesan lewat aplikasi Access by KAI, yang akan dinaikkan di stasiun besar paling ujung Daop 5 PWT itu. Belum lagi jika teringat, nanti saat turun di Lempuyangan sudah ditunggu oleh duo chubby, Dika dan Enno yang telah berjanji setia di hadapan Pak Parno. Janji akan selalu setia menanti matangnya tongseng Ndas Wedhus dan nasgorkam yang panasnya menyala bagaikan istriku di dalam selimut.
Dan seperti biasa, Jaka Tingkir rehat sejenak di stasiun Kebumen. Selepas ngebut dari Kroya dan menembus gunung di terowongan Ijo, tibalah ia di Gombong dan Kebumen yang satu wilayah dengan Karangbolong dan Karangsambung.
Wajah Tecto Grandiva ahli geologi alumni Unpad, mentor di grup WA dalam hal kebumian mulai membayang. Banyak ilmu dasar geologi seperti stratigrafi ia ajarkan dalam satu kesempatan saat kami berpergian dalam satu kendaraan ke Rumah Kayu Kanyaah desa Alam Endah di kaki gunung Patuha.
Kini ilmu itu seolah kembali menggaung seperti echo mistis tanpa sosok yang berkata. Salah satu pelajaran penting yang kerap diulang-ulang Tecto adalah perkara formasi Melange. Dan ya, formasi itu memang khas, endemik, dan bisa dilihat di Karangsambung. Tak jauh dari stasiun ini, hanya terpisah jarak belasan kilometer yang dapat ditempuh dengan ojek online_l dalam waktu tak sampai sejam.
Apa itu formasi Melange? Formasi Melange adalah salah satu jenis formasi geologi yang terbentuk akibat proses tektonik kompleks, biasanya terkait dengan zona subduksi, di mana dua lempeng tektonik bertabrakan dan salah satunya bergerak ke bawah lempeng yang lain. Kata “melange” sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti “campuran,” dan ini menggambarkan karakteristik utama formasi ini, yaitu campuran heterogen dari berbagai jenis batuan yang terkumpul dalam satu massa.
Formasi Melange terdiri dari berbagai jenis batuan seperti batuan sedimen, batuan beku, dan batuan metamorf. Batuan-batuan ini bisa berasal dari lingkungan yang berbeda, seperti kerak samudra, kerak benua, atau material vulkanik.
Formasi Melange juga sering menunjukkan kondisi batuan yang terfragmentasi atau hancur, akibat gaya-gaya tektonik kuat yang terlibat dalam pembentukannya. Blok-blok batu besar dapat terkumpul bersama-sama dalam sebuah massa yang umumnya dikelilingi oleh material yang lebih halus seperti serpih atau lempung.
Melange sering terbentuk di zona subduksi, di mana lempeng samudra yang tenggelam membawa material dari kerak samudra, sedimen laut dalam, dan fragmen dari kerak benua. Ketika lempeng subduksi tersebut bergerak ke bawah, terjadi deformasi, pengangkatan, dan pengumpulan berbagai material yang akhirnya tercampur menjadi massa melange.
Formasi ini sering mengandung blok-blok tektonik besar yang disebut olistoliths, yang berasal dari tempat asalnya, kemudian terfragmentasi dan dibawa ke lingkungan yang berbeda melalui proses tektonik.
Maka sesuai teori di atas, formasi Melange di Karangsambung juga terbentuk sebagai hasil dari proses tektonik yang terjadi di zona subduksi antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia, yang juga berperan dalam terbentuknya jajaran gunung api di Pulau Jawa. Pembentukan Melange dan gunung api ini saling berkaitan karena keduanya dipicu oleh aktivitas subduksi lempeng samudra yang mengarah ke bawah lempeng benua.
Formasi Melange di Karangsambung mulai terbentuk pada periode Kapur Akhir hingga awal periode Tersier (lebih spesifik pada kala Paleosen), sekitar 80 juta tahun yang lalu hingga 60 juta tahun yang lalu. Pada masa ini, aktivitas subduksi antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia terjadi secara aktif.
Karangsambung merupakan bagian dari busur akresi yang terbentuk di zona subduksi di mana Lempeng Indo-Australia bergerak ke bawah Lempeng Eurasia. Selama subduksi, kerak samudra yang tenggelam membawa sedimen laut, fragmen kerak samudra, dan material vulkanik dari dasar laut menuju zona akresi, yang kemudian terkompresi, terdeformasi, dan terangkat ke permukaan.
Dalam proses subduksi, material dari lempeng yang tenggelam tidak selalu turun langsung ke dalam mantel bumi, tetapi sebagian material terakumulasi di zona akresi, membentuk formasi Melange. Ini terjadi karena lotongan kerak samudra, termasuk batuan beku seperti basal dari dasar laut, terbawa ke zona subduksi. Endapan yang terbentuk di dasar laut juga ikut terseret dan terakumulasi dalam formasi Melange.
Sementara gaya kompresi yang kuat dalam zona subduksi akan menyebabkan material dari kerak samudra dan sedimen ini terfragmentasi, bercampur, dan terakresi menjadi formasi geologis heterogen yang dikenal sebagai Melange.
Formasi Melange di Karangsambung merupakan salah satu contoh klasik dari fenomena ini, dengan campuran batuan dari kerak samudra dan sedimen laut dalam yang tersusun dalam satu unit geologis. Proses ini berlangsung selama puluhan juta tahun dan menghasilkan campuran unik batuan sedimen, beku, dan metamorf.
Proses subduksi yang menciptakan formasi Melange di Karangsambung juga bertanggung jawab atas terbentuknya jajaran gunung api di Pulau Jawa. Ketika Lempeng Indo-Australia turun ke bawah Lempeng Eurasia, bagian dari lempeng yang tenggelam mengalami pelelehan sebagian di kedalaman mantel bumi. Pelelehan ini menghasilkan magma yang kemudian naik ke permukaan, menciptakan gunung-gunung berapi.
Jajaran gunung api di Jawa, termasuk Gunung Merapi, Semeru, dan lainnya, merupakan hasil dari aktivitas vulkanik yang dipicu oleh subduksi lempeng tersebut. Dengan kata lain, subduksi yang membentuk Formasi Melange juga menyebabkan pelelehan material di zona subduksi, menghasilkan magma yang akhirnya membentuk rangkaian gunung api.
Memikirkan kuliah umum sejarah geologi pulau Jawa wa bil khusus perkara Karangsambung dari Kang Tecto makin membuat saya sengsara menahan lara akibat rasa lapar yang tiada tara. Mengapa? Karena serasa aroma Mangut Girli semakin menyiksa, seiring stasiun Kutoarjo yang semakin mendekat. Maka baiknya tulisan ini saya akhiri di sini saja ya? Agar saya punya waktu untuk mempersiapkan kehadiran mangut Girli dengan sambal terasinya yang perlu disyukuri dengan cara berusaha khusyu’ saat menikmati. Alhamdulillah ππΎπ©΅π²π¨