Tauhid Nur Azhar

Soempah Pemoeda 1928 dan Eksistensi Kita Sebagai Bangsa

Hari ini tepat 96 tahun yang lalu ada peristiwa besar yang mengawali langkah kebangkitan sebuah bangsa yang dipersatukan oleh kesamaan bahasa, tanah air, dan identitas kebangsaan yang uniknya justru dibangun dari keberagaman.
Kondisi keberagaman terlahir sebagai anak Indonesia pula yang membuat kolonialisme justru menjadi pemantik kesadaran untuk menyatukan langkah dan visi bersama ke depan. Berbagaj suku, kerajaan, adat istiadat dan bahasa Ibu yang beragam, akhirnya berlabuh di kolam kebangsaan yang menampung aneka ragam DNA dan fenotipe genetika yang menyertainya dalam barisan langkah bersama, mengalir dan menggerakkan turbin catu daya bernegara di bawah naungan Dwi Warna dan rengkuhan sayap ideologis Pancasila yang kakinya menjaga rantai tak kasat mata yang menyatukan kebhinekaan dalam ketunggalan rasa bangsa yang dipersatukan oleh cinta dan segenap jiwa yang mendamba kedaulatan nan adiluhung yang mengalir menjadi hasrat merdeka yang tak lagi dapat terbendung.
Manusia Indonesia yang datang dari berbagai benua dan mencintai nusa yang disebut Denys Lombard sebagai Silang Budaya. Daerah kaya cahaya dengan beraneka vegetasi dan satwa yang begitu dimanja oleh keberlimpahan alam tropika. Manusia yang menjadi khas karena ternyata menjadi perpaduan potensi genom hebat dari banyak populasi awal dunia.
Analisis genetika menunjukkan bahwa manusia Indonesia memiliki jejak genetik yang beragam, mencerminkan kontribusi dari berbagai leluhur. Melalui kajian haplotipe DNA mitokondria (mtDNA) dan kromosom Y, ilmuwan dapat melacak garis keturunan maternal dan paternal.
Haplogrup mtDNA yang umum di Indonesia meliputi M, F, B, dan Y, dimana haplogrup M dan F menunjukkan asal-usul dari Asia Tenggara daratan sedangkan haplogrup B dan Y terkait dengan kepulauan Pasifik.
Sedangkan haplogrup kromosom Y dominan adalah O, C, dan D, dimana haplogrup O berkaitan dengan populasi Austronesia, menunjukkan migrasi dari Asia Timur dan Selatan. Haplogrup C dan D terkait dengan populasi Australomelanesoid dan migrasi awal manusia modern ke Asia.
Studi genom populasi mengungkap percampuran genetik antara populasi Austronesia, Melanesia, dan Asia Tenggara daratan. Prof. Herawati Sudoyo dari lembaga yang dulu dikenal sebagai Lembaga Biologi Molekuler Eijkman atau Eijkman Institute, dan kini bergabung di MRIN yang didirikan oleh Mochtar Riyadi, telah menemukan keragaman haplogrup yang berfrekuensi tinggi di Indonesia, mengindikasikan migrasi berlapis dan interaksi antara populasi Asia daratan, Austronesia, dan Melanesia.
Hal ini sejalan dengan data tentang kehadiran manusia modern, Homo sapiens di Nusantara. Manusia modern (Homo sapiens) diperkirakan mulai memasuki wilayah Indonesia sekitar 50.000–70.000 tahun yang lalu melalui jalur pesisir selatan Asia dari Afrika dalam migrasi Out of Africa.
Gelombang migrasi awal ini membawa populasi Australomelanesoid, yang jejak genetiknya masih dapat ditemukan di populasi Papua dan beberapa bagian Indonesia timur.
Sekitar 4.000–5.000 tahun yang lalu, terjadi gelombang migrasi kedua dari populasi Austronesia yang berasal dari Taiwan. Migrasi ini, dijelaskan dalam Teori Out of Taiwan, di mana populasi awal sapien di Taiwan juga diduga berasal dari wilayah timur Indonesia, mengakibatkan penyebaran bahasa Austronesia dan budaya pertanian ke Filipina, Indonesia, dan Pasifik. Populasi Austronesia ini berinteraksi dan bercampur dengan penduduk asli, membentuk keragaman budaya dan genetik yang ada saat ini.
Sementara penemuan fosil oleh para paleoantropolog di abad ke 19 sampai 20 seperti Eugene Dubois dan Van Koningswald, menunjukkan bahwa Indonesia juga menjadi habitat bagi manusia purba yang populasinya sudah sangat tua. Di daerah Bumiayu, Jawa Tengah, ditemukan fosil manusia purba yang awalnya diklasifikasikan sebagai Pithecanthropus erectus, kini dikenal sebagai Homo erectus.
Fosil yang ditemukan termasuk fragmen tulang tengkorak dan rahang, berusia sekitar 1 juta tahun. Penemuan ini penting karena, menunjukkan keberadaan Homo erectus di Indonesia selama periode Pleistosen Tengah. Juga memberikan bukti migrasi manusia purba dari daratan Asia atau Afrika ke Nusantara, serta menunjukkan adaptasi Homo erectus terhadap lingkungan tropis Indonesia.
Penemuan ini, bersama dengan temuan di Sangiran dan Trinil, menegaskan peran Indonesia sebagai salah satu pusat evolusi manusia purba di jamannya.
Keberagaman manusia Indonesia yang mendiami kepulauan Nusantara ini dengan berbagai lokus suku dan adat dalam lembaga formal seperti kerajaan dan sistem pewarisan nilainya, membuat sebuah ikrar persatuan menjadi sedemikian krusialnya.
Tak pelak Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dimana pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai daerah dan latar belakang berkumpul dalam Kongres Pemuda II di Batavia (sekarang Jakarta). Mereka mengikrarkan sumpah yang menegaskan tekad untuk bersatu sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Peristiwa ini menjadi momentum bersejarah yang mempersatukan semangat nasionalisme dan mempercepat proses menuju kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Dinamika bathin yang mengawali terbitnya kesadaran akan arti pentingnya nilai kebangsaan untuk menyatukan cita-cita akumulatif anak bangsa telah dimulai selama berabad-abad, dan berkorelasi dengan eksploitasi berbagai bangsa asing yang berlangsung secara terus menerus karena kekayaan sumber daya alam Indonesia yang begitu mempesona, termasuk rempah tentu saja.
Maka tak heran jika pada awal abad ke-20, kesadaran nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia mulai tumbuh sebagai respons terhadap penjajahan Belanda yang dirasa semakin eksploitatif. Di sisi lain penerapan politik etis oleh kerajaan Belanda juga melahirkan, sistem pendidikan modern yang secara tidak langsung melahirkan generasi terpelajar yang kritis terhadap ketidakadilan.
Berdirinya organisasi-organisasi seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), dan Indische Partij (1912) menandai awal kebangkitan nasional. Pergerakan pemuda ini menjadi semakin signifikan dengan munculnya organisasi kepemudaan kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan lainnya. Meskipun awalnya bersifat regional, organisasi-organisasi ini mulai menyadari pentingnya persatuan nasional untuk melawan penjajahan.
Kongres Pemuda I pada tahun 1926 di Batavia merupakan upaya awal untuk menyatukan berbagai organisasi pemuda. Meskipun belum menghasilkan kesepakatan konkret, kongres ini membuka jalan bagi dialog antar pemuda dari berbagai daerah. Kesadaran akan perlunya persatuan semakin menguat seiring dengan intensitas penindasan kolonial dan kebutuhan akan strategi perjuangan yang lebih efektif.
Kongres Pemuda II yang diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928 dengan agenda utama memperkuat semangat persatuan dan merumuskan langkah-langkah konkret menuju kemerdekaan. Dalam kongres inilah Sumpah Pemuda diikrarkan, yang menjadi simbol persatuan dan komitmen bersama untuk membentuk bangsa Indonesia yang merdeka.
Beberapa tokoh penting yang berperan dalam proses Sumpah Pemuda antara lain, Soegondo Djojopoespito, Ketua Kongres Pemuda II dari organisasi Pemuda Indonesia, yang memimpin jalannya kongres. Lalu ada Muhammad Yamin, anggota Jong Sumatranen Bond, yang banyak berperan dalam merumuskan teks Sumpah Pemuda dan mendorong penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Sementara Wage Rudolf Supratman mempersembahkan lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya dalam kongres tersebut, yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia.
Amir Syarifuddin, Kusumo Wijoyo, Sarmidi Mangoensarkoro, dan Joesoef Ronodipuro, dll adalah tokoh-tokoh pemuda lainnya yang aktif dalam kongres dan pergerakan nasional, dan kemudian terus memegang peran signifikan dalam  proses kemerdekaan Indonesia dan fase-fase pemerintahan awal Republik yang masih dipenuhi dengan intrik dan konflik karena adanya keinginan kaum kolonial untuk balik.
Mempersatukan Indonesia yang kaya akan keragaman hayati dan geologi serta manusia memang tak mudah. Tapi jika bangsa besar dengan  tingkat keberagaman sangat tinggi ini dapat bersatu, maka potensi untuk menjadi bangsa yang disegani di dunia ada dalam genggaman.
Kekayaan alam, termasuk potensi sumber daya yang berkorelasi dengan energi (hidrokarbon dan mineral) serta kesuburan lahan dan keberlimpahan lautan adalah hasil dari suatu proses panjang terkait dengan sejarah kebumian.
Pembentukan kepulauan Indonesia erat kaitannya dengan aktivitas tektonik lempeng bumi dan perubahan iklim global. Pada era Mesozoikum hingga Kenozoikum, pergerakan Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik membentuk struktur geologi kompleks di wilayah Nusantara. Aktivitas vulkanik dan tektonik menghasilkan pegunungan, cekungan sedimen, dan pulau-pulau yang menjadi ciri khas Indonesia saat ini.
Di daerah Karangsambung, Jawa Tengah, kita masih dapat melihat dan mempelajari formasi geologi unik yang dikenal sebagai Melange. Melange adalah campuran batuan yang terdiri dari berbagai jenis batuan metamorf dan sedimen, termasuk serpih, batu pasir, basal, dan batuan ultramafik. Formasi ini terbentuk akibat proses subduksi dan tektonik kompleks yang terjadi sekitar 120 juta tahun yang lalu selama periode Kapur.
Studi geologi di Karangsambung memberikan wawasan penting tentang dinamika tektonik lempeng di wilayah ini, termasuk proses subduksi Lempeng Indo-Australia di bawah Lempeng Eurasia yang terus berlangsung hingga saat ini.
Dinamika dan sejarah pembentukan rupa bumi dari aspek geologi itu pulalah yang menghasilkan kekhasan bioregion di dua wilayah utama Indonesia, barat dan timur. Indonesia terletak di antara dua bioregion besar, yaitu Asia dan Australasia, yang dipisahkan oleh Garis Wallacea. Garis ini, diperkenalkan oleh Alfred Russel Wallace pada abad ke-19, merupakan batas biogeografis yang memisahkan fauna dan flora Asia di barat dan Australasia di timur. Wallacea adalah zona transisi yang mencakup Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, yang memiliki keanekaragaman hayati unik hasil evolusi terpisah.
Keberadaan Garis Wallacea mempengaruhi migrasi fauna dan manusia. Pulau-pulau di barat Garis Wallacea (Sumatra, Jawa, Kalimantan) pernah terhubung dengan daratan Asia selama zaman es ketika permukaan laut lebih rendah, memungkinkan migrasi langsung. Sebaliknya, pulau-pulau di timur tetap terisolasi, sehingga flora dan fauna Australasia seperti marsupial dan burung cendrawasih berkembang di sana. Bagi manusia purba, keberadaan laut dalam dan arus kuat di Wallacea menjadi tantangan migrasi, tetapi bukti arkeologis menunjukkan mereka berhasil menyeberanginya.
Tak hanya itu saja, kesuburan tanah dan keberhasilan peradaban agraris di Indonesia juga didukung oleh iklim tropis 2 musim dan keberadaan cincin api, yang erupsi nya selain menimbulkan kebencanaan dan kerusakan yang bersifat katastropik, melainkan juga menghasilkan lapisan humus nan subur dari lapisan-lapisan lava magmatiknya yang mengandung banyak mineral.
Beberapa gunung dengan letusan super dahsyat di Indonesia antara lain adalah gunung Toba Purba (Supervolcano Toba) yang pernah meletus ekitar 74.000 tahun yang lalu, dan menghasilkan  danau Toba serta pulau Samosir yang kita kenal hari ini. Saat meletus hebat itu indeks VEI nya (Volcanic Explosivity Index) mencapai level 8 (super erupsi). Letusan tersebut menyemburkan sekitar 2.800 km³ material vulkanik dan nenyebabkan _musim dingin vulkanik_ global, yang ditandai dengan penurunan suhu rata-rata bumi hingga 3–5°C, hingga memicu _bottleneck_ genetik pada populasi manusia, serta mengurangi jumlah populasi secara drastis.
Letusan dahsyat lainnya terjadi di gunung Samalas (Lombok, kini kompleks gunung sisanya dikenal sebagai Rinjani). Gunung Samalas meletus pada tahun 1257 M, dengan kekuatan 7 VEI hingga membentuk kaldera Segara Anak. Abu vulkanik gunung Samalas sampai ditemukan di inti es _Greenland dan Antartika,_ juga menyebabkan anomali iklim global, gagal panen di Eropa, dan bencana kelaparan.
Gunung api berikutnya adalah Tambora yang meletus pada 10 April 1815 dengan kekuatan 7 VEI. Letusan Tambora termasuk yang terbesar  dalam sejarah modern. Letusan ini mengeluarkan sekitar 160 km³ material vulkanik, dan nenyebabkan *Tahun Tanpa Musim Panas* pada 1816 di belahan bumi utara, hingga memicu gagal panen dan kelaparan global.
Yang tak kalah dahsyat dan spektakuler juga adalah letusan gunung Krakatoa, pada 27 Agustus 1883 dengan kekuatan VEI 6. Ledakannya terdengar hingga radius 5.000 km dan menimbulkan tsunami setinggi 40 meter, juga menewaskan lebih dari 36.000 orang. Semburan abu vulkanik Krakatoa menyebabkan perubahan warna langit dan mempengaruhi iklim global.
Manusia Indonesia yang hidup di wilayah cincin api dan zona subduksi di pertemuan 3 lempeng benua memang terlahir tabah dan memiliki resiliensi serta ketangguhan untuk bersahabat dengan alam. Alam Indonesia tak hanya sangat kaya dengan potensi sumber daya, melainkan juga teramat cantik, koleksi, dan penuh pesona. Kemolekan alam itu pulalah yang menghadirkan keragaman dan keadiluhungan budaya.
Bahkan kepulauan yang diapit 2 samudera itu dikaruniai kekayaan potensi maritim yang luar biasa. Luas wilayah laut Indonesia sekitar 3,25 juta km², termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km². Panjang garis pantainya sekitar 99.093 km, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Jumlah pulau di gugusannya lebih dari 17.500 pulau, dengan sekitar 6.000 pulau berpenghuni.
Indonesia juga bagian dari segitiga terumbu karang atau Coral Triangle, yang merupakan pusat keanekaragaman terumbu karang dunia dan memiliki lebih dari 590 spesies karang pembentuk terumbu. Terumbunya nenjadi habitat bagi lebih dari 2.000 spesies ikan karang. Luas terumbu karang di perairab laut Indonesia sekitar 51.000 km², terbesar di dunia.
Arus Lintas Indonesia (Arlindo), mengalir dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melalui perairan Indonesia, hingga mempengaruhi sirkulasi laut global. Kedalaman lautnya bervariasi dari perairan dangkal di laut pesisir hingga palung dalam seperti Palung Jawa dengan kedalaman lebih dari 7.000 meter, hingga dapat membentuk ekosistem laut yang beragam. Tak heran jika komoditas perikanan laut Indonesia menjadi sangat istimewa.
Keberadaan laut yang memisahkan pulau-pulau di Nusantara, khususnya di era Holosen (20.000 tahun terakhir) setelah Daerah Aliran Sungai Molengraaff yang ditemukan oleh  Adolf Frederik Molengraaff seorang ahli geologi, biologi, dan penjelajah Belanda, terbenam air laut yang permukaannya meningkat seiring dengan melelehnya es di kutub di masa inter glasial, menciptakan enclave atau lokus-lokus budaya dan adat manusia yang ditandai dengan perbedaan dan keberagaman budaya.
Bahasa di Indonesia mencerminkan sejarah migrasi dan interaksi budaya. Mayoritas bahasa termasuk dalam rumpun Austronesia, dengan lebih dari 700 bahasa daerah. Di wilayah Papua dan sebagian Maluku, terdapat bahasa-bahasa non-Austronesia atau Papua, menunjukkan keberadaan populasi asli sebelum migrasi Austronesia.
Studi linguistik mendukung temuan genetik tentang percampuran antara populasi Austronesia dan
Australomelanesoid. Perbedaan bahasa di berbagai wilayah menunjukkan sejarah isolasi dan interaksi yang kompleks.
Dari data dan fakta yang tersaji di atas, dapat terlihat betapa krusialnya peran Sempat Pemoeda pada 1928 bukan? Beragamnya penutur bahasa, tersebarnya lokus hunian di ribuan pulau, perbedaan adat istiadat dan budaya, tentu memerlukan platform utama untuk mempersatukan kita semua bukan?
Daftar Pustaka
1. Sudoyo, H., et al. (2016). Genetic Diversity in Indonesia and the Indo-Pacific Region. Eijkman Institute for Molecular Biology.
2. Karafet, T. M., et al. (2010). “Major East-West Division Underlies Y Chromosome Stratification across Indonesia”. Molecular Biology and Evolution, 27(8), 1833–1844.
3. Cox, M. P. (2008). “The Genetic Environment of Melanesia: Analyses of Maternal and Paternal Lineages in the Pacific”. Journal of Human Genetics, 53, 679–687.
4. Bellwood, P. (2005). First Farmers: The Origins of Agricultural Societies. Blackwell Publishing.
5. Oppenheimer, S. (1998). Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia. Phoenix.
6. Simanjuntak, T. (2002). Archaeology: Indonesian Perspective. Indonesian Institute of Sciences.
7. Soejono, R. P. (1984). Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
8. Hall, R. (2002). “Cenozoic Geological and Plate Tectonic Evolution of SE Asia and the SW Pacific”. Journal of Asian Earth Sciences, 20, 353–431.
9. Barber, A. J., & Crow, M. J. (2005). Sumatra: Geology, Resources and Tectonic Evolution. Geological Society.
10. van den Bergh, G. D. (1999). “The Late Neogene Elephantoid-Bearing Faunas of Indonesia and Their Palaeozoogeographic Implications: A Study of the Terrestrial Faunal Succession of Sulawesi, Flores and Java, Including Evidence for Early Hominid Dispersal East of Wallace’s Line”. Scripta Geologica, 117, 1–419.
11. Chesner, C. A., et al. (1991). “Toba Tuff of Sumatra, Indonesia: A Mega-Eruptions Eruption”. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 51(1-4), 1–35.
12. Lavigne, F., et al. (2013). “Source of the Great A.D. 1257 Mystery Eruption Unveiled, Samalas Volcano, Rinjani Volcanic Complex, Indonesia”. Proceedings of the National Academy of Sciences, 110(42), 16742–16747.
13. Self, S., et al. (1984). “The Atmospheric Impact of the 1815 Tambora Eruption”. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 21(1-2), 139–172.
14. Winchester, S. (2003). Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27, 1883. HarperCollins.
15. Veron, J. E. N. (2000). Corals of the World. Australian Institute of Marine Science.
16. Gordon, A. L. (2005). “Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow”. Oceanography, 18(4), 14–27.
17. Tomascik, T., et al. (1997). The Ecology of the Indonesian Seas. Periplus Editions.
18. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. (2018). Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jakarta.
19. Wallace, A. R. (1869). The Malay Archipelago. Macmillan.
20. Eijkman Institute for Molecular Biology. (2020). Research on Human Genetic Diversity in Indonesia. Jakarta.
Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts