Tauhid Nur Azhar

GLS (Gudeg-Liwet-Soto) Global Soft Diplomacy Strategy, Membawa Soto Nusantara ke Pentas Dunia

Suatu pagi, saya yang menginap di sebuah rumah tamu dengan desain peninggalan budaya art deco era kolonial di seputaran Jl Robert Wolter Monginsidi Jogja, berencana ke stasiun Tugu di pagi hari untuk pulang ke Bandung dengan kereta Lodaya.

Karena masih ada cukup waktu, saya yang berjalan kaki, singgah di lapak kedai Bubur Gudeg Pasar Kranggan, yang terletak di halaman depan dan berbatasan dengan parkiran. Bubur gudeg itu super lezat, terlebih saya meminta ditambahi hati ayam yang telah dibumbui dengan santan dan rempah. Orkestrasi antara gudeg, bubur, dan ati di pagi hari yang indah, membuat sarapan pagi terasa menjadi penuh dengan sensasi sensori.

Gudeg sendiri menurut catatan sejarah, kemungkinan besar sudah dikonsumsi oleh masyarakat Jogja dan sekitarnya sejak era awal pendirian kerajaan Mataram Islam. Bahkan sebagian sejarawan menisbatkan mulainya tradisi memasak gudeg dimulai di era itu karena pada saat babat alas Mentaok, pada 1587-1601, banyak ditemukan pohon Nangka dengan buahnya yang masih muda, dan pohon kelapa dengan putiknya yang disebut Manggar. Maka ada gudeg gori atau nangka (muda) dan gudeg Manggar.

Nangka muda dan kelapa itu kemudian diolah untuk santapan bersama. Nangka muda dimasak dengan santan dari kelapa ditambah gula aren, berbagai macam bumbu, serta rempah-rempah, di dalam kuali besar yang diaduk-aduk dengan menggunakan sendok besar mirip dayung.

Supaya merata, dikutip dari buku Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa (2017) suntingan Murdijati Gardjito dan kawan-kawan, masakan itu diaduk dengan memutar-mutar sendok besar tersebut.

Maka, tercetuslah istilah hangudeg yang berarti diaduk-aduk sehingga makanan tersebut pada akhirnya dikenal dengan sebutan gudeg.

Selanjutnya gudeg berkembang menjadi makanan yang juga menjadi simbol persatuan antara raja dan rakyatnya, karena pada saat babat alas Mentaok itu juga, Panembahan Senopati, sang Raja Mataram pertama, memakan gudeg bersama-sama dengan seluruh pekerja prajurit, dan masyarakat yang membantu beliau dalam membangun keraton dan permukiman di wilayah tersebut.

Heri Priyatmoko dalam artikel Menyantap (Sejarah) Gudeg yang diunggah di Detik.com (8 Maret 2019), mengungkapkan bahwa proses memasak dan mengonsumsi gudeg juga sampai di lingkungan keraton Surakarta yabg juga merupakan pecahan dari Mataram Islam, fakta ini terdapat di Serat Centhini (1814-1823)

Selain itu, dalam Serat Jatno Hisworo juga dikisahkan bahwa Raja Surakarta, Pakubuwana IX (1861-1893), pernah memborong nasi gudeg dan nasi liwet untuk menjamu rombongan kesenian yang akan menghibur keluarga istana dengan sajian musik karawitan semalam suntuk.

Hari ini gudeg di Jogja telah berkembang tak hanya menjadi industri kuliner untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi masyarakat Jogja, Solo dan sekitarnya saja, melainkan sudah menjadi ikon wisata dan juga makanan nasional yang diidentikkan tak hanya dengan Jogja, melainkan juga Indonesia.

Jogja sendiri saat ini dikenal sebagai salah satu kiblat kuliner Nusantara. Begitu banyak kedai yang menyajikan kelezatan kuliner khas, mulai dari yang berangkat dari khazanah kearifan lokal berbasis wilayah, sampai makanan-makanan fusion yang merupakan perpaduan ciamik dari berbagai budaya kuliner yang masuk ke Indonesia dan mengalami asimilasi budaya, antara lain melalui pertukaran selera.

Sementara di wilayah Mataram lainnya, Solo, berkembang kuliner endemik yang tak kalah eksotik, sego Liwet. Sego atau nasi liwet adalah salah satu sajian ikonik dari kota Solo, yang lahir dari perpaduan sejarah, budaya, dan sumber daya alam lokal. Penelusuran lahirnya kuliner ini memberikan gambaran tentang bagaimana makanan bisa menjadi manifestasi kompleks dari aspek antropologi, ilmu gizi, psikologi sosial, hingga ilmu ekonomi. Dalam kajian WA pagi ini kita akan menganalisa berbagai pendekatan disiplin ilmu dalam memahami kelahiran nasi liwet sebagai produk budaya yang kaya makna.

Dari perspektif antropologi, nasi liwet bukan sekadar sajian sehari-hari, tetapi juga simbol identitas kolektif masyarakat Solo. Menurut Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973), makanan memiliki peran simbolis dalam ritual, yang mencerminkan tatanan sosial. Nasi liwet umumnya disajikan dalam acara tertentu, seperti hajatan, syukuran, atau upacara tradisional.

Masyarakat Solo memilih bahan lokal seperti beras, santan, dan kelapa, yang mencerminkan ekosistem pertanian yang kaya dan berakar kuat pada alam sekitar.

Sementara dari sudut pandang psikologi sosial, nasi liwet adalah medium untuk mempererat ikatan antar anggota masyarakat. Penelitian dari pakar psikologi, Dr. Paul Rozin, menunjukkan bahwa makanan memiliki kekuatan emosional, yang berfungsi sebagai pemicu memori kolektif. Saat dikonsumsi bersama, nasi liwet tidak hanya memberi nutrisi tetapi juga menjadi sarana kebersamaan yang memperkuat rasa kekeluargaan.

Secara gizi, nasi liwet memberikan karbohidrat sebagai sumber energi utama, protein dari suwiran ayam, serta lemak sehat dari santan. Santan kelapa sendiri kaya akan lemak _lmedium-chain triglycerides (MCTs) yang mudah diserap tubuh. Menurut peneliti gizi dari IPB Bogor, Dr. Hardinsyah, santan yang dikonsumsi dalam jumlah moderat memiliki manfaat kesehatan, meskipun kandungan lemaknya cukup tinggi.

Makanan ini juga mengandung sayuran seperti labu siam dan rempah-rempah seperti kunyit yang kaya antioksidan, memberi keseimbangan gizi yang baik.

Bahan-bahan untuk nasi liwet juga menunjukkan keterkaitan yang kuat dengan pertanian lokal. Wilayah Solo yang subur mendukung produksi beras berkualitas. Lahan pertanian di daerah sekitar menjadi sumber utama bahan baku yang mempengaruhi rasa dan tekstur nasi liwet.

Menurut Indonesia Agricultural Journal, varietas beras lokal memiliki tekstur yang ideal untuk nasi liwet, yang berbeda dengan beras lain yang lebih pulen atau beraroma kuat.

Di level mikro, nasi liwet terbukti mendukung sektor ekonomi lokal. Banyak pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya pada penjualan nasi liwet, baik di pasar tradisional maupun kaki lima. Secara makro, nasi liwet memberi dampak positif pada sektor pariwisata, karena makanan ini menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun internasional.

Peneliti ekonomi kuliner, Dr. Tanadi Santoso, mencatat bahwa kekuatan kuliner lokal dalam perekonomian kota Solo adalah contoh sukses dalam ekonomi pariwisata yang berbasis kearifan lokal.

Baik Liwet, Gudeg, maupun Soto (akan kita bahas juga), adalah jenis-jenis kuliner yang piturut teori Cultural Materialism (Marvin Harris), adalah jenis makanan yang merupakan hasil adaptasi manusia terhadap sumber daya yang tersedia dalam lingkungan.

Sementara jika kita mengacu kepada teori Ritual dan Makanan (Claude Lévi-Strauss), maka gudeg, liwet, soto, termasuk makanan yang berperan dalam struktur sosial dan membawa nilai budaya dalam setiap elemen penyajiannya.

Sejalan dengan teori Psychological Food Attachment (Rozin), yang menggambarkan adanya keterikatan emosional dan psikologis pada makanan yang dihubungkan dengan nostalgia dan identitas kita. Gudeg, Liwet, dan Soto tak dapat dipungkiri, selain sebagai comfort food bagi sebagian besar orang Indonesia, adalah identitas kuliner bagi orang Jawa dimanapun ia berada.

Sekarang kita coba bahas soal persotoan Nusantara ya. Makanan berkuah ini dalam berbagai variannya dapat kita jumpai di berbagai daerah di Indonesia, mulai dari soto Medan, Padang, Bandung, Betawi, Pekalongan, Jogja, Solo, Surabaya, Banjarmasin, sampai Makassar, terdaoat varian makanan berkuah yang satu ini. Bahkan ada seorang kakak saya, pensiunan Telkom yang alih profesi menjadi pengamat persotoan Nusantara, saking kesengsem nya beliau terhadap jenis masakan yang satu ini.

Soto adalah kuliner yang dikenal hampir di seluruh Indonesia, dengan setiap daerah memiliki variasi unik yang mencerminkan kekayaan alam, sejarah, dan budaya setempat. Soto tidak sekadar makanan berkuah, namun adalah cerminan pertemuan berbagai unsur kehidupan masyarakat, dari ekonomi, psikologi, hingga budaya agraris dan peternakan. Kita akan coba untuk membahas soto dari sudut pandang multidisipliner untuk memahami kehadiran hidangan ini sebagai wujud kuliner, yang merupakan simbol sosial, dan identitas bangsa.

Dari perspektif antropologi, soto merupakan contoh dari konsep keberagaman kuliner nasional, di mana secara historis, soto mungkin saja dipengaruhi oleh teknik memasak dari berbagai tradisi kuliner tua dunia, seperti Tiongkok, Asia kecil, timur tengah, atau India yang diperkenalkan oleh pedagang di Nusantara. Antropolog kuliner Dr. Denys Lombard dalam bukunya Le Carrefour Javanais menekankan bahwa perpaduan budaya dari Tiongkok dan India telah menyusup ke dalam budaya kuliner Nusantara sejak abad ke-15. Tapi mungkin saja Soto adalah makanan yang dimasak dengan segenap pengetahuan lokal yang membumi, sebagai upaya untuk mengoptimasi segenap sumber daya yang dapat dijumpai di tanah air tercinta. Dengan kata lain Soto adalah kuliner asli Indonesia.

Soto juga berperan dalam ritual masyarakat. Misalnya, soto betawi dalam budaya Betawi sering disajikan dalam acara besar seperti perkawinan atau khitanan, menunjukkan simbol status dan kebersamaan.

Soto, terutama soto ayam atau soto daging sapi, menawarkan komposisi nutrisi lengkap. Menurut Ahli Gizi Indonesia, Prof. Hardinsyah, soto dengan kombinasi sayuran, protein, dan karbohidrat adalah hidangan seimbang. Protein hewani dalam soto daging berperan penting sebagai sumber asam amino esensial, sementara beras dan bihun menjadi sumber energi.

Selain itu, rempah-rempah seperti kunyit, jahe, dan serai memberikan nilai tambah antioksidan yang membantu menjaga kesehatan tubuh. Dalam konteks ini, soto berperan sebagai sumber nutrisi lengkap yang sesuai dengan gaya hidup sehat.

Bahan dasar nasi soto, seperti beras, ayam, sayuran, dan rempah-rempah, mencerminkan kekayaan pertanian lokal Indonesia. Banyak daerah di Indonesia menghasilkan bahan utama soto, menjadikannya sebagai hidangan yang mudah diakses di berbagai tempat. Menurut Agriculture and Food Security Journal, produksi beras dan rempah-rempah lokal di Indonesia menjadi pendukung utama dalam konsumsi dan keberlanjutan kuliner seperti soto di daerah pedesaan. Sedangkan menurut Dr. Budiman dari Institut Pertanian Bogor, penggunaan ayam kampung dan sapi lokal memberi cita rasa yang khas. Selain itu, pola pemeliharaan lokal ini mencerminkan adaptasi kuliner terhadap ketersediaan sumber daya setempat.

Soto tidak hanya hadir di meja makan, tetapi juga menjadi salah satu sektor yang mendukung ekonomi rakyat, dari pedagang kaki lima hingga restoran besar. Warung soto di berbagai kota menjadi mata pencaharian yang stabil bagi banyak keluarga. Menurut laporan dari Indonesian Culinary Association, soto adalah salah satu kuliner yang paling diminati wisatawan domestik dan mancanegara, memberikan kontribusi besar pada ekonomi pariwisata.

Pada tingkat ekonomi makro, soto adalah bagian dari kekuatan soft power diplomacy kuliner Indonesia. Mempromosikan soto sebagai hidangan nasional membantu meningkatkan citra budaya Indonesia di kancah internasional, seperti yang terlihat pada festival kuliner global. Konsep ini telah berhasil dilakukan oleh Thailand dengan Tom Yam nya yang sangat dikenal secara global dan telah menjadi bagian dari global campaign dan branding nya Thailand di tingkat dunia. Mengapa Soto Indonesia yang kaya akan kearifan lokal dan mengandung tak hanya sekedar rempah dan daging, melainkan juga banyak makna dan cerita dari khazanah kearifan Nusantara tidak kita sajikan pada dunia?

Soto Inc dapat digulirkan sebagai suatu gerakan revolusi kuliner Nusantara untuk Dunia. Perpaduan antara pendekatan ilmiah, kearifan lokal, kekayaan khazanah rempah, keahlian para empu pawon Indonesia, dapat menyajikan Semangkuk cerita tentang pesona Nusantara yang maujud dalam makanan berkuah dengan citaraaa adaptasi global yang ramah lidah bagi segenap warga dunia di belahan manapun mereka berada.

Membawa Soto ke tingkat dunia adalah suatu hal yang niscaya, sebagaimana ramen, pizza, dan Tom Yam pun telah berhasil menjajah selera kita. Strategi untuk meraih hati para pengelana rasa tingkat dunia agar terpikat pada Soto Nusantara, tentulah memerlukan pendekatan lintas disiplin yang terorkestrasi sempurna.

Salah satu aspek utama yang harus dievaluasi, diteliti, dan terus dieksplorasi adalah soal fisiologi rasa, baru kemudian diikuti oleh mekanisme produksi, dan pengembangan berbagai strategi terkait aspek ekonomi, seperti pemasaran dan pengembangan jalur distribusi. Di tingkat itulah baru kita berbicara soal devisa dan berbagai hal lainnya.

Pengalaman menikmati makanan lezat melibatkan interaksi kompleks antara organ indera, sistem syaraf, dan otak, di mana setiap elemen bekerja sama untuk menciptakan sensasi rasa yang tidak hanya menyenangkan tetapi juga bisa tertanam sebagai kenangan yang kuat. Bagaimana tubuh manusia dapat merasakan dan memproses rasa? Lalu vagaimana pengalaman tersebut bisa menjadi memori yang tak terlupakan? Ini 2 hal penting yang perlu kita elaborasi kalau kita mau Soto menjadi makanan penuh kenangan yang takkan terlupakan bukan?

Proses pengenalan rasa dimulai di lidah, organ utama dalam persepsi rasa. Lidah memiliki beberapa jenis papilla (struktur kecil yang mengandung sel pengecap) yang terdiri dari: Papilla fungiformis yang terletak di ujung dan tepi lidah. Lalu ada papilla foliata yang terletak di sisi-sisi belakang lidah. Kemudian ada papilla sirkumfalata yang terletak di bagian belakang lidah.

Masing-masing papila ini mengandung reseptor rasa yang terbagi dalam beberapa kategori utama seperti manis, asin, pahit, asam, dan umami. Setiap reseptor rasa peka terhadap senyawa kimia tertentu dari makanan, misalnya reseptor manis (T1R2 dan T1R3) yang merespon glukosa dan senyawa manis lainnya, serta reseptor umami yang mendeteksi asam glutamat.

Saat molekul makanan menempel pada reseptor di lidah, mereka merangsang sel pengecap untuk mengirimkan sinyal melalui saraf kranial yang terkait dengan persepsi rasa seperti syaraf kranial VII (fasialis) yang bertanggung jawab atas sensasi dari dua pertiga depan lidah. Lalu ada syaraf kranial IX (glosofaringeus) yang menghantarkan sensasi dari sepertiga bagian belakang lidah. Kemudian ada syaraf kranial X (vagus) yang menyampaikan sensasi dari area tenggorokan yang juga mempengaruhi persepsi rasa.

Dari sini, sinyal syaraf dikirim ke nukleus gustatorius di batang otak, kemudian diteruskan ke talamus, pusat transmisi sensorik di otak. Dari talamus, informasi ini dikirim ke korteks gustatorius primer di lobus insular dan korteks orbitofrontal, di mana persepsi rasa kompleks seperti intensitas dan kombinasi rasa diproses.

Setelah diidentifikasi di korteks gustatorius, informasi rasa berlanjut ke sistem limbik, terutama amigdala dan hipokampus, area yang berperan penting dalam pembentukan memori jangka panjang dan emosi. Amigdala mengaitkan emosi dengan rasa, sehingga rasa yang menyenangkan bisa menciptakan perasaan puas dan senang, sedangkan hipokampus menyimpan informasi ini dalam bentuk memori.

Kemudian Area nukleus accumbens dan ventral tegmental area (VTA) di otak memberikan respons berupa pelepasan neurotransmiter dopamin saat merasakan makanan lezat. Sistem dopamin ini adalah bagian dari reward system yang menghubungkan rasa lezat dengan perasaan bahagia atau puas. Inilah yang membuat kita mengingat makanan enak dan ingin menikmatinya lagi, karena sistem ini secara otomatis mengaitkan rasa lezat dengan kenangan menyenangkan.

Memori rasa sering kali lebih kuat dan bertahan lama dibandingkan memori sensorik lainnya karena adanya komponen emosional yang terkait. Penelitian Dr. Rachel Herz dalam The Scent of Desire (2007) menunjukkan bahwa makanan dengan kenangan emosional yang kuat, seperti makanan favorit masa kecil, memiliki daya ingat yang sangat kuat. Kombinasi antara rasa, aroma, dan konteks emosional menciptakan pengalaman episodik yang disimpan di otak.

Mengapa? Salah satunya karena selain rasa, makanan juga melibatkan indera penciuman yang kuat melalui sistem olfaktori. Aroma yang dihirup melalui hidung (orthonasal) dan yang naik ke rongga hidung saat mengunyah (retronasal) bekerja sama dengan reseptor rasa untuk memberikan gambaran utuh dari rasa makanan.

Menurut teori Sensory-Perceptual Interaction, proses rasa yang dikaitkan dengan kenangan kuat tidak hanya didasarkan pada persepsi rasa itu sendiri tetapi juga pada konteks lingkungan dan pengalaman psikologis saat rasa tersebut dirasakan. Hal ini menjelaskan mengapa kita bisa mengingat detail suatu hidangan dari suasana dan emosi ketika menikmatinya.

Menjajah selera lewat rasa Nusantara memang membutuhkan pengetahuan mumpuni dan ketrampilan kuliner tingkat dewa, serta daya marketing serta diplomasi level dunia, tapi dengan mereformulasi resep Soto agar ramah lidah global, berbahan baku yang mudah diolah di mana saja kapan saja, serta harga dasaran proses produksi yang affordable, serta tentu saja ada setangkup cerita tentang Nusantara yang menjadi bagian dari unsur “rempah” dalam bumbunya, saya yakin Soto dapat mendunia dan menjadi duta selera Indonesia yang mampu mewarta keadiluhungan Nusantara. 🙏🏾🇲🇨🩵

Daftar Pustaka

Adiraka, B. (2015). Menyusuri Jejak Kuliner Nusantara. Jakarta: Penerbit Mandala.

Anshori, I. (2020). Warisan Kuliner Indonesia: Dari Aceh hingga Papua. Yogyakarta: Gramedia.

Setyawan, T. (2018). “Perkembangan Kuliner Yogyakarta dan Pengaruhnya pada Masyarakat Lokal,” Jurnal Kebudayaan Nusantara, 4(1), 65-80.

Widyaningsih, S. (2017). Resep Tradisional dan Kearifan Lokal dalam Kuliner Jawa. Jakarta: Pustaka Nasional

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Harris, M. (1979). Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. Random House.

Rozin, P. (1987). “Psychological Food Attachment,” Journal of Consumer Research, 13(1), 93-105.

Lévi-Strauss, C. (1966). The Raw and the Cooked. Harper & Row.

Hardinsyah. (2014). Ilmu Gizi dan Pangan Indonesia. Jakarta: Penerbit Gizi Indonesia.

Tanadi Santoso. (2020). “Ekonomi Kuliner dan Pariwisata,” Indonesian Journal of Economic Studies, 12(2), 78-92.

Setyawan, T. (2018). Kuliner Nusantara dan Pengaruhnya pada Ekonomi Lokal. Yogyakarta: Gramedia.

Indonesia Agricultural Journal. (2022). “Analisis Varietas Beras Lokal di Indonesia,” Vol 15, 99-120.

Smith, M. (2007). Food and Culture. New York: Routledge.

Widodo, A. (2015). Makanan dan Makna dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Pustaka.

Gunawan, P. (2017). “Nasi Liwet dan Pengaruh Kulturalnya,” Journal of Indonesian Studies, 5(3), 45-67.

Santoso, I. (2019). Gastronomi Nusantara. Bandung: PT Serambi.

Wulandari, D. (2021). “Psikologi Sosial dalam Kajian Makanan,” Psychology and Society Journal, 8(2), 110-125.

Surya, M. (2016). Peranan Ayam Kampung dalam Ekonomi Lokal. Surakarta: Penerbit Peternakan.

Handayani, R. (2020). “Ikan Lokal sebagai Sumber Protein di Solo,” Fisheries Journal, 9(4), 56-78.

Suryana, A. (2018). Pengaruh Makanan Tradisional pada Pariwisata Daerah. Jakarta: Mandala.

Purnama, T. (2017). Tradisi Makanan Nusantara. Semarang: Penerbit Pendidikan.

Prasetyo, B. (2022). “Santan dalam Kuliner Indonesia,” Journal of Nutrition Studies, 14(1), 34-48.

Lestari, I. (2019). Ekonomi Mikro dalam Industri Kuliner. Jakarta: Gramedia.

Anshori, I. (2020). Warisan Kuliner Indonesia: Dari Aceh hingga Papua. Jakarta: Gramedia.

Lombard, D. (1990). Le Carrefour Javanais. Paris: Éditions de la Maison des Sciences de l’Homme.

Hardinsyah. (2014). Ilmu Gizi dan Pangan Indonesia. Jakarta: Penerbit Gizi Indonesia.

Rozin, P. (1987). “Psychological Food Attachment,” Journal of Consumer Research, 13(1), 93-105.

Boas, F. (1940). Race, Language, and Culture. Chicago: University of Chicago Press.

Douglas, M. (1972). “Food in the Social Order,” American Ethnologist, 10(2), 125-142.

Budiman, R. (2018). Pertanian dan Peternakan Lokal di Indonesia. Bogor: IPB Press.

Indonesian Culinary Association. (2020). Laporan Kuliner Nasional. Jakarta: ICA Publishing.

Agriculture and Food Security Journal (2021). “Peran Pertanian dalam Keberlanjutan Kuliner,” Vol 12, 45-65.

Sulaeman, B. (2017). Kuliner Nusantara: Identitas dan Ekonomi. Bandung: Penerbit Serambi.

Widodo, A. (2015). Makanan dan Makna dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Pustaka.

Gunawan, P. (2017). “Soto: Kuliner Nasional Berbasis Tradisi Lokal,” Journal of Indonesian Studies, 5(3), 32-48.

Indonesia Culinary Heritage. (2019). Makanan Tradisional Indonesia. Jakarta: Pustaka Nasional.

Smith, M. (2007). Food and Culture. New York: Routledge.

Indonesian Ministry of Tourism. (2018). Kuliner Indonesia dan Pariwisata Nasional. Jakarta: Pustaka Pariwisata.

Indonesia Agricultural Journal. (2022). “Rempah-Rempah Nusantara,” Vol 15, 101-119.

Prasetyo, B. (2021). Warisan Kuliner Indonesia: Peran dan Makna Sosial. Semarang: Pustaka Indonesia.

Tanadi Santoso. (2020). “Ekonomi Kuliner,” Indonesian Journal of Economic Studies, 12(2), 78-92.

Wulandari, D. (2021). “Psikologi Sosial dalam Kajian Makanan,” Psychology and Society Journal, 8(2), 110-125.

Surya, M. (2016). Peranan Kuliner dalam Pariwisata Daerah. Surakarta: Penerbit Pariwisata.

Lestari, I. (2019). Ekonomi Mikro dalam Industri Kuliner. Jakarta: Gramedia.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts