Brongkos, Tempe, dan Gundulmu
Di ufuk timur Plengkung matahari mulai meninggi ketika saya tiba di Warung Brongkos Handayani, salah satu warung legendaris di Alun-Alun Kidul, Yogyakarta. Aroma santan bercampur kluwek menguar, membawa kenangan dan rasa penasaran. Di atas meja, sepiring brongkos telur dengan kuah cokelat kehitaman menggoda selera, ditemani potongan tempe kemul, dan tempe bacem yang berkilauan keemasan. Kombinasi rasa gurih, manis, dan kaya rempah begitu sempurna. Namun, sebagai seseorang yang sering mengaku-aku sebagai ilmuwan, pengalaman ini tentu bukan sekadar soal rasa, tetapi juga tentang keajaiban sains di balik makanan; bagaimana mikroba bekerja dalam fermentasi tempe, bagaimana warna makanan terbentuk, dan bagaimana mata kita menangkap keindahannya.
Tempe, hidangan legendaris yang tertulis dalam Serat Centhini, Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦕꦼꦟ꧀ꦛꦶꦤꦶ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa yang ditulis atas inisiatif Sultan Surakarta Paku Buwono V, adalah bukti kekayaan tradisi dan inovasi bioteknologi pangan Nusantara. Dibuat dari kedelai yang difermentasi menggunakan kapang Rhizopus oligosporus, tempe adalah produk fermentasi yang tidak hanya memperpanjang umur simpan, tetapi juga meningkatkan nilai gizi (Nout & Kiers, 2005).
Mikroba ini memecah protein kedelai menjadi asam amino bebas yang lebih mudah dicerna, meningkatkan kadar vitamin B12 melalui aktivitas bakteri tertentu, serta memperkaya senyawa bioaktif seperti isoflavon, yang dikenal sebagai antioksidan dan fitoestrogen alami (Ray & Bhunia, 2013).
Fermentasi, proses biologis yang telah dikenal manusia sejak ribuan tahun lalu, melibatkan kerja sama mikroba dalam menciptakan rasa, tekstur, dan aroma khas pada makanan. Lactobacillus spp., bakteri asam laktat, sering hadir bersama kapang dalam proses fermentasi tempe. Mereka membantu menurunkan pH, mencegah kontaminasi patogen, dan memberikan rasa yang lebih kaya (Steinkraus, 1996). Tidak berlebihan jika fermentasi disebut sebagai bentuk seni dan sains dalam pengolahan makanan.
Dalam pengolahan pangan, mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama; bakteri, ragi (yeast), dan kapang (fungi). Setiap kelompok memiliki peran spesifik.
Bakteri banyak digunakan dalam fermentasi asam laktat, seperti pada yoghurt, ampyang dadih, kefir, dan kimchi, yang tidak hanya memperpanjang umur simpan tetapi juga meningkatkan kesehatan usus. Contoh, Lactobacillus spp. yang membantu memproduksi asam organik yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen.
Lalu ragi seperti Saccharomyces cerevisiae adalah pilar utama dalam fermentasi sereal dan leguminosae, serta buah-buahan untuk menghasilkan minuman dan roti. Ada pula , ragi seperti Candida utilis yang dapat digunakan untuk memproduksi protein sel tunggal yang kaya nutrisi.
Kemudian ada keluarga kapang seperti Rhizopus oligosporus, jenis kapang yang digunakan dalam fermentasi tempe, memiliki kemampuan unik untuk memecah protein kedelai menjadi asam amino yang lebih mudah dicerna.
Pemahaman kita tentang mikroba seperti Rhizopus oligosporus tidak mungkin tercapai tanpa sejarah panjang penelitian dalam bidang optik dan mikroskop. Penemuan mikroskop oleh Antony van Leeuwenhoek pada abad ke-17 memungkinkan manusia untuk pertama kalinya melihat dunia mikro yang selama ini tak kasat mata. Namun, sebelum itu, cendekiawan Muslim seperti Ibnu al-Haytsam telah meletakkan dasar-dasar ilmu optik yang menjadi fondasi perkembangan teknologi ini.
Ibnu al-Haytsam (965–1040 M), yang dikenal di Barat sebagai Alhazen, menulis Kitāb al-Manāẓir atau Book of Optics, sebuah karya monumental yang membantah pandangan Yunani kuno bahwa mata memancarkan cahaya untuk melihat. Ia menunjukkan bahwa penglihatan terjadi ketika cahaya dari objek memasuki mata dan difokuskan pada retina (Sabra, 1989). Penelitiannya tentang pembiasan cahaya melalui lensa menjadi dasar bagi pengembangan mikroskop dan teleskop ratusan tahun kemudian (Al-Hassan & Hill, 1986)
Hidangan brongkos telur, tempe kemul alias tempe goreng tepung, dan tempe bacem di Warung Handayani tidak hanya menggoda selera, tetapi juga memanjakan mata. Warna cokelat pekat kuah brongkos dan kilau keemasan tempe adalah hasil interaksi cahaya dengan bahan kimia dalam makanan. Untuk memahami ini, kita harus melihat bagaimana cahaya bekerja dan bagaimana mata kita menangkapnya.
Cahaya pertama kali memasuki organ mata dengan melewati kornea, lapisan bening di bagian terluar mata. Kornea memiliki bentuk cembung sehingga berperan penting dalam membiaskan (membelokkan) cahaya yang masuk. Karena kepadatannya yang lebih tinggi dibanding udara, cahaya dibiaskan sehingga memfokuskan berkas cahaya menuju bagian dalam mata.
Setelah melalui kornea, cahaya melewati ruang berisi cairan yang disebut aqueous humor, yang juga membantu menjaga tekanan intraokular dan memberikan sedikit pembiasan tambahan.
Cahaya kemudian melewati pupil, lubang di tengah iris. Iris, bagian berwarna pada mata, secara refleks dapat mengatur ukuran pupil untuk mengontrol jumlah cahaya yang masuk. Dalam kondisi terang, iris berkontraksi dan memperkecil pupil; dalam kondisi gelap, iris melebar untuk memperbesar pupil.
Setelah melalui pupil, cahaya mencapai lensa mata. Lensa bersifat fleksibel dan dapat mengubah kelengkungannya (akomodasi) berkat bantuan otot siliar. Dengan mengubah bentuknya, lensa memfokuskan cahaya sehingga bayangan yang tajam jatuh tepat pada retina. Proses akomodasi ini sangat penting agar kita dapat melihat jelas objek pada berbagai jarak.
Cahaya kemudian menembus gel vitreous humor, cairan yang mengisi rongga bola mata bagian belakang, sebelum mencapai retina. Dimana retina sendiri adalah lapisan tipis di bagian belakang dalam bola mata yang kaya akan sel-sel fotoreseptor (rod dan cone). Pembiasan total dari kornea dan lensa menyebabkan cahaya jatuh membentuk bayangan terbalik pada retina.
Sel Batang (Rod) adalah sel yang bertanggung jawab untuk penglihatan dalam kondisi cahaya redup (skotopik) dan mendeteksi gradasi hitam, putih, dan abu-abu. Sel batang sangat sensitif terhadap cahaya namun tidak membedakan warna. Sedangkan sel Kerucut (Cone) berperan dalam penglihatan warna dan detail halus dalam kondisi cahaya terang (fotopik). Ada tiga jenis sel kerucut yang peka terhadap panjang gelombang cahaya berbeda (merah, hijau, dan biru), yang secara kolektif memungkinkan kita melihat spektrum warna.
Ketika foton cahaya mencapai fotoreseptor, pigmen visual di dalam sel batang dan kerucut (misalnya, rodopsin pada batang) akan mengalami perubahan konformasi kimiawi. Perubahan ini memulai proses transduksi, yaitu konversi energi cahaya menjadi sinyal listrik. Cahaya yang diserap pigmen fotoreseptor memicu reaksi kimia yang akhirnya mengubah potensial membran sel fotoreseptor.
Berbeda dengan banyak sel syaraf lain yang menimbulkan impuls saat terstimulasi, fotoreseptor terdepolarisasi dalam gelap dan akan terhiperpolarisasi jika terkena cahaya. Sinyal hiperpolarisasi ini akan mengurangi pelepasan neurotransmiter ke sel-sel berikutnya di dalam retina.
Setelah fotoreseptor diaktifkan oleh cahaya, sel fotoreseptor akan berkomunikasi dengan sel bipolar. Perubahan pelepasan neurotransmiter dari fotoreseptor menyebabkan sel bipolar mengalami depolarisasi atau hiperpolarisasi, tergantung pada jenis selnya. Sel bipolar kemudian menyampaikan sinyal ke sel ganglion retina. Sel ganglion adalah sel pertama dalam jalur penglihatan yang menghasilkan potensial aksi (impuls listrik). Akson sel ganglion berkumpul membentuk saraf optikus.
Ada pula sel-sel penghubung lainnya (horizontal dan amakrin) yang memodulasi dan menyaring sinyal, misalnya dengan meningkatkan kontras atau mengatur sensitivitas cahaya.
Kumpulan akson sel ganglion membentuk nervus optikus yang akan membawa impuls ke otak. Di persilangan syaraf yang dikenal sebagai kiasma optikus, sebagian serabut syaraf dari setiap mata bersilangan ke sisi otak yang berlawanan. Dengan demikian, informasi dari medan pandang kiri kedua mata diteruskan ke sisi kanan otak, dan sebaliknya.
Dari kiasma optikus, sinyal akan diteruskan melalui traktus optikus menuju nukleus genikulatum lateral (Lateral Geniculate Nucleus, LGN) di talamus. LGN berperan sebagai stasiun penghubung penting yang memproses sinyal sebelum diteruskan ke korteks visual. Dari LGN, sinyal berpindah melalui radiasi optik ke korteks visual primer di lobus oksipital otak.
Kemudian di Korteks Visual Primer (V1) pola aktivitas listrik akan diterjemahkan menjadi representasi dasar dari garis, sudut, dan bidang warna. Neuron di V1 sangat spesifik dalam mendeteksi orientasi garis, kontras terang-gelap, serta posisi objek dalam bidang pandang. Informasi dari V1 kemudian diolah secara lebih lanjut di area visual asosiasi di sekitarnya. Di sinilah proses integrasi terjadi, menghasilkan persepsi bentuk, warna, gerak, dan kedalaman.
Informasi visual kemudian dihubungkan dengan memori, konteks, serta data dari panca indra lain untuk membentuk persepsi yang utuh. Pada tahap inilah manusia dapat mengenali wajah, membaca tulisan, menilai jarak dan gerakan objek, serta memaknai apa yang dilihat, termasuk tentu saja sepiring Brongkos telur dengan aroma istimewa yang ditemani dengan segelas teh tawar berwarna coklat keemasan, dan tempe goreng tepung yang kulitnya crispy and crunchy. Karena aroma dan sensasi garing alias crunchy berasal dari sistem indera lain, maka untuk mendapatkan sensasi yang utuh dibutuhkan koneksi intermoda bukan?
Warna makanan, seperti coklat pada brongkos atau coklat keemasan pada tempe goreng tepung yang ditumpuk menggunung, dan coklat legam tempe bacem, muncul dari interaksi kimia dan cahaya. Proses karamelisasi pada gula (reaksi Maillard) selama proses memasak tempe bacem menghasilkan pigmen melanoidin yang memberikan warna cokelat khas (Belitz et al., 2009). Dalam konteks biologi, pigmen ini menyerap panjang gelombang tertentu dari cahaya dan memantulkan panjang gelombang lainnya, yang kemudian ditangkap oleh mata kita sebagai warna.
Isoflavon dalam tempe juga memberikan kontribusi warna pucat kekuningan. Senyawa ini menyerap panjang gelombang ultraviolet, melindungi makanan dari oksidasi, sekaligus memberikan manfaat kesehatan sebagai antioksidan (Nout & Kiers, 2005).
Sarapan di Warung Brongkos Handayani mengingatkan saya bahwa setiap hidangan adalah hasil dari interaksi rumit antara sains, sejarah, dan tradisi. Mikroba yang bekerja dalam fermentasi tempe, cahaya yang memantulkan warna makanan, hingga mata dan otak kita yang menerjemahkan semua itu menjadi persepsi, adalah bagian dari keajaiban alam yang difasilitasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan.
Dari penemuan Ibnu al-Haytsam di bidang optik hingga penelitian modern tentang mikroba, semuanya membentuk pengalaman kita sehari-hari, bahkan dalam momen sederhana seperti menikmati makan Brongkos Handayani di Jogja.
Rupanya sepiring Brongkos, 2 tempe kemul, dan 3 bacem, sudah cukup membuat saya semakin kuat untuk menggenjot sepeda onthel yang saya pinjam dari mantan murid saya; Mas Dika. Dan karena sudah kuat lagi itu, saya mengajak Pak XXX sahabat saya untuk lanjut gowes lagi ke arah Pasar Kranggan untuk mencari sarapan (lagi). Kan bisa icip-icip gudeg gongso Bu Tini atau sop sapi bukan ? Pak XXX menatap saya tajam, sambil misuh…. GUNDULMU
Daftar Pustaka
Al-Hassan, A. Y., & Hill, D. R. (1986). Islamic Technology: An Illustrated History. Cambridge University Press.
Bear, M. F., Connors, B. W., & Paradiso, M. A. (2020). Neuroscience: Exploring the Brain (4th ed.). Wolters Kluwer.
Belitz, H.-D., Grosch, W., & Schieberle, P. (2009). Food Chemistry (4th ed.). Springer.
Nout, M. J. R., & Kiers, J. L. (2005). Tempe fermentation, innovation and functionality: Update into the third millennium. Journal of Applied Microbiology, 98(4), 789–805. https://doi.org/10.1111/j.1365-2672.2005.02571.x
Purves, D., Augustine, G. J., Fitzpatrick, D., Hall, W. C., LaMantia, A.-S., Mooney, R. D., Platt, M. L., & White, L. E. (Eds.). (2012). Neuroscience (5th ed.). Oxford University Press.
Ray, B., & Bhunia, A. (2013). Fundamental Food Microbiology (5th ed.). CRC Press.
Sabra, A. I. (1989). The Optics of Ibn Al-Haytham: Books I-III On Direct Vision. Warburg Institute.
Steinkraus, K. H. (1996). Handbook of Indigenous Fermented Foods. CRC Press.