Membedah Akar Agresi
Belakangan ini kasus kekerasan dan perilaku agresi marak diberitakan melalui berbagai media. Yang cukup mengherankan, sebagian di antaranya justru dilakukan oleh oknum penegak hukum, misal pada kasus polisi menembak polisi di Solok Selatan Sumatera Barat, atau seorang Aipda di Jakarta yang menganiaya Ibunya dengan tabung gas 3 kg hingga meninggal dunia. Juga ada kasus penembakan Gamma, anak SMK yang juga anggota Paskibra di Semarang Jawa Tengah, yang menurut Kabid Propam Polda Jateng diakibatkan insiden di jalan raya.
Tentu tak terbatas hanya pada aparat saja, kita juga mendengar ada insiden antara 2 pengendara kendaraan bermotor roda 4 di Jakarta yang berakhir dengan fatal karena salah seorang di antaranya meninggal dunia, juga karena dianiaya. Belum lagi jika kita berbicara tentang berbagai tawuran antar kelompok yang seolah sulit untuk dicarikan solusi.
Sebenarnya perilaku agresi dan kekerasan juga tak semata berada di ranah fisik saja, perundungan atau bully verbal melalui media sosial juga telah menjadi habit yang mulai menggejala. Terlepas dari objektivitas penilaian, terkadang stigmatisasi dan labelisasi dapat dikonstruksi melalui tekanan mayoritas pendapat atau komen yang dapat dipantik oleh bias persepsi dan kognisi, yang bersumber dari informasi sepihak seperti komen dan penyampaian informasi subjektif yang belum terkonfirmasi.
Tak dapat dipungkiri bahwa media sosial telah mengubah dinamika interaksi sosial dengan menawarkan anonimitas, aksesibilitas, dan kecepatan penyebaran informasi. Sayangnya, ekosistem digital ini juga dapat memfasilitasi perilaku negatif seperti perundungan (cyberbullying) dan penyebaran opini publik (subjektif) yang viral.
Perundungan di media sosial adalah tindakan agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok melalui platform digital untuk menyakiti, mempermalukan, atau mengintimidasi orang lain. Mekanismenya mencakup berbagai bentuk, seperti pelecehan verbal, penyebaran rumor, doxing (membocorkan informasi pribadi), atau penggunaan meme untuk mempermalukan seseorang.
Media sosial memungkinkan pengguna untuk berkomunikasi secara anonim atau dengan identitas yang tidak sepenuhnya nyata. Anonimitas ini mengurangi rasa tanggung jawab individu terhadap perilaku negatif, sebuah fenomena yang dikenal sebagai online disinhibition effect. Dimana anonimitas menurunkan aktivitas di korteks prefrontal yang mengatur pengambilan keputusan moral, sehingga perilaku impulsif yang diatur oleh amigdala lebih dominan.
Media sosial juga cenderung menciptakan echo chambers, di mana individu hanya berinteraksi dengan orang yang memiliki pandangan serupa. Ini memperkuat bias dan meningkatkan agresivitas terhadap pihak luar (out-group). Faktor yang memperberat antara lain adanya banyak netizen yang bertindak sebagai pengamat pasif (bystanders), yang justru memperkuat aksi perundungan dengan menyukai atau membagikan konten yang bersifat menghina.
Di sisi lain, sejalan dengan itu ada mekanisme heuristik yang mengecoh kapasitas fungsi seleksi kognitif melalui perancangan informasi yang sederhana, relevan, dan mudah diterima. Ada pula kecenderungan masyarakat digital yang bersifat virtual bergabung dengan tribe digital mereka, yang memperkuat opini kelompok untuk menyerang kelompok lawan. Polarisasi ini sering kali diiringi dengan perundungan terhadap pihak yang berbeda pandangan.
Fenomena Tribalisme Digital antara lain dapat dicermati dalam bebagai isu politik terkait proses pemilihan pemimpin ataupun isu-isu terkait keyakinan dan budaya tertentu.
Terkadang terjadi ironi, banyak kasus yang mengusik hati nurani khalayak karena sulitnya mencari keadilan dan kebenaran di dunia nyata, terkuak dan mendapat perhatian serta tindakan yang layak setelah viral di media sosial, akan tetapi ada pula stigmatisasi dan labelisasi yang bersifat menyudutkan dan sulit diklarifikasi oleh yang bersangkutan. Perundungan dan viralitas dapat memperkuat budaya penghakiman massal (cancel culture), di mana individu dihukum secara sosial tanpa proses hukum yang adil.
Telaah akademik terkait dengan dinamika perundungan, kekerasan digital, maupun proses viral di media sosial telah cukup banyak dilakukan, hasilnya antara lain menghasilkan teori yang dikenal sebagai Online Disinhibition Effect (Suler, 2004).
Teori ini menjelaskan bahwa perilaku agresif di media sosial sering kali muncul karena hilangnya hambatan sosial yang biasanya ada dalam interaksi tatap muka. John Suler mengidentifikasi dua faktor utama, Anonimitas, di mana netizen merasa aman karena identitas mereka tidak diketahui, sehingga lebih cenderung bertindak tanpa rasa tanggung jawab. Lalu ada Invisible Audience, yang di dalam dunia digital jamak apabila user acap kali tidak terlihat, sehingga pelaku merasa bebas dari penilaian atau judgement secara langsung.
Kemudian ada teori Social Identity Theory (Tajfel & Turner, 1979), dimana teori ini berfokus pada bagaimana identitas kelompok mempengaruhi perilaku individu. Dalam konteks media sosial, kita dapat melihat adanya in-Group Favoritism, atau kondisi dimana kita cenderung mendukung kelompok kita sendiri, yang menimbulkan Out-Group Hostility swbagai konsekuensinya. Yaitu ketegangan terhadap kelompok lawan sering kali memicu perilaku agresif, terutama dalam situasi yang melibatkan rivalitas kelompok, seperti debat politik atau suporter sepak bola.
Sementara teori antropologi lama lainnya seperti Spiral of Silence Theory (Noelle-Neumann, 1974), juga masih relevan diimplementasikan di era digital ini. Teori ini menyatakan bahwa individu cenderung diam jika mereka merasa opini mereka tidak sejalan dengan mayoritas. Namun, di media sosial, mekanisme ini dapat menciptakan mob mentality, di mana mayoritas yang vokal dapat memperkuat opini tertentu dan meminggirkan suara minoritas, serta memicu agresi atau represi terhadap mereka yang tergolong minoritas.
Hal ini sejalan juga dengan teori Uses and Gratifications Theory (Katz, Blumler, & Gurevitch, 1974), yang dapat menjelaskan mengapa saat ini orang menggunakan media sosial untuk memenuhi kebutuhan emosional, kognitif, atau sosial mereka, seperti kebutuhan untuk diakui (eksistensi). Dimana orang sering melakukan perundungan untuk mendapatkan perhatian atau pengakuan dari kelompok. Karena memang secara psikologi; konflik dan drama di ruang publik, sering kali menjadi sebentuk hiburan, yang pada gilirannya akan mendorong individu untuk menyebarkan konten kontroversial lebih banyak lagi.
Dalam bukunya yang berjudul Alone Together, Sherry Turkle (2011) menyoroti bagaimana media sosial menciptakan kehadiran semu yang memungkinkan orang merasa terhubung, tetapi sebenarnya semakin terisolasi. Isolasi ini sering kali menjadi akar dari perilaku agresif karena individu mencari kompensasi melalui penguasaan atau penghinaan terhadap orang lain.
Sedangkan Clay Shirky (2008) dalam bukunya yang berjudul Here Comes Everybody, menyatakan bahwa media sosial mempermudah koordinasi massa. Namun, ia juga mencatat bahwa alat yang sama dapat digunakan untuk tujuan destruktif, seperti perundungan kolektif dan penyebaran opini yang bias atau tidak akurat.
Terkait soal keberadaan by standers, Danah Boyd (2014) dalam bukunya yang berjudul It’s Complicated, menyatakan bahwa dinamika media sosial menciptakan bentuk baru dari pengawasan sosial yang di sisi lain juga sering kali memperburuk perilaku agresif. Perundungan terjadi bukan hanya karena pelaku, tetapi juga karena partisipasi pengamat yang pasif atau yang aktif menyebarkan konten.
Sebenarnya terkait perilaku agresi dan kekerasan, baik platform digital maupun ruang publik di ranah sosial adalah media interaksi, yang bahkan di antara keduanya dapat terjadi reaksi silang yang saling mempengaruhi. Provokasi di media sosial dapat diikuti dengan tindak kekerasan di ruang publik faktual, dan sebaliknya; persinggungan di ranah sosial dapat memantik kegaduhan di dunia virtual.
Terkait perilaku agresi multi platform, terkuak fakta bahwa dalam perspektif antropologi, agresivitas memiliki akar evolusioner yang mendalam. Sebagai bagian dari mekanisme survival, agresivitas membantu manusia mempertahankan diri dari predator, merebut sumber daya, atau mengamankan pasangan. Richard Wrangham (2019) dalam bukunya The Goodness Paradox menyoroti bahwa agresivitas manusia modern lebih terkendali dibandingkan dengan nenek moyangnya, sebagian besar karena evolusi struktur otak seperti korteks prefrontal yang lebih berkembang.
Antropologi budaya juga menunjukkan bahwa agresivitas dipengaruhi oleh norma dan nilai sosial. Misalnya, masyarakat egaliter cenderung memiliki tingkat agresivitas yang lebih rendah dibandingkan masyarakat hierarkis. Neurobiologi menunjukkan bahwa norma sosial ini memengaruhi pengolahan informasi di basal forebrain dan korteks prefrontal.
Agresivitas dan perilaku agresi yang mendasari konsep kekerasan, adalah fenomena kompleks yang melibatkan interaksi berbagai sistem biologis, psikologis, dan budaya. Sebagai perilaku universal, agresivitas memiliki peran evolusioner, baik sebagai mekanisme pertahanan maupun sebagai cara untuk mempertahankan sumber daya. Namun, dalam konteks modern, agresivitas sering kali menjadi faktor utama dalam konflik interpersonal dan sosial.
Psikologi klasik menjelaskan agresivitas melalui teori frustrasi-agresi (Dollard et al., 1939), yang menyatakan bahwa frustrasi sebagai akibat kegagalan mencapai tujuan dapat memicu agresi. Proses ini melibatkan interaksi antara korteks prefrontal (kontrol kognitif) dan amigdala (respons emosional). Disfungsi dalam komunikasi antara dua wilayah ini, sering kali diperantarai oleh habenula, dapat memperburuk respons agresif.
Albert Bandura (1977) melalui teori belajar sosial, menekankan peran pengamatan dalam pembentukan perilaku agresif. Individu yang sering terpapar kekerasan melalui media atau lingkungan sosial lebih mungkin menginternalisasi agresi sebagai respons adaptif. Dalam kerangka neurobiologi, proses ini melibatkan sistem reward basal forebrain yang memperkuat perilaku berdasarkan hasil.
Antonio Damasio menekankan pentingnya korteks prefrontal dalam mengatur emosi dan agresivitas. Ketidakseimbangan di wilayah ini dapat menyebabkan perilaku impulsif. Sementara Robert Sapolsky dalam Behave: The Biology of Humans at Our Best and Worst (2017) menyoroti bahwa agresivitas manusia adalah hasil interaksi genetik, hormonal, dan lingkungan sosial. Sedangkan Joseph LeDoux menjelaskan bahwa amigdala dan habenula berperan dalam respons cepat terhadap ancaman, yang sering kali mendasari agresivitas instinktif.
Dalam kajian populer neurobiologi terkait perundungan dan agresivitas, cendekiawan Riza Putranto menyebutkan peran dua area otak yang dominan dalam memproduksi perilaku tersebut; basal forebrain dan habenula.
Adapun Basal forebrain sendiri adalah wilayah otak yang terdiri dari beberapa struktur penting, termasuk septum dan nucleus accumbens. Area yang terlibat dalam prose pengolahan emosi, pembelajaran, dan memori. Studi menunjukkan bahwa disfungsi di basal forebrain dapat meningkatkan perilaku impulsif dan agresif. Misal, nucleus accumbens, melalui interaksinya dengan korteks prefrontal, dapat memodulasi agresivitas berbasis mekanisme reward-seeking (Craig & Dayan, 2014).
Sedangkan Habenula adalah struktur kecil di epitalamus yang memainkan peran penting dalam regulasi respons emosi dan motivasi. Secara khusus, lateral habenula (LHb) terlibat dalam pengolahan pengalaman negatif dan kontrol impuls agresif. Studi neuroimaging menunjukkan bahwa hiperaktivasi LHb sering ditemukan pada individu dengan gangguan afektif seperti depresi dan agresi patologis (Hikosaka, 2010). LHb terhubung dengan sistem dopaminergik, memediasi respons terhadap penghargaan dan hukuman, yang secara langsung mempengaruhi agresivitas.
Intinya, jika saya boleh menyitir pendapat Bandura, agresivitas sebenarnya adalah konstruksi yang dibangun melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi yang terjadi di dalamnya. Maka jika kita “terjebak” di dalam ekosistem, baik digital maupun sosial, yang bersifat toksik, maka peluang untuk munculnya perilaku agresi yang impulsif menjadi semakin besar. Oleh karena itu, terkait masalah perilaku agresi dan budaya merundung ini, tampaknya kita perlu memikirkan kembali konsep-konsep dasar dalam proses pengembangan ekosistem yang sehat. Identifikasi faktor kohesi sosial menjadi penting, sepenting upaya kita dalam mengidentifikasi jenis dan intensitas stressor yang mungkin tercipta dari berbagai pola dan model interaksi.
Mengembalikan sifat empatif dan welas asih tampaknya menjadi PR besar bagi keluarga-keluarga Indonesia di masa kini dan masa mendatang, sejalan dengan semakin masifnya penetrasi teknologi digital yang punya peluang besar untuk mendorong terciptanya perilaku instan, nirproses, yang berorientasi pada hasil, sehingga meningkatkan pula tingkat kecemasan yang dapat memantik agresi dan berkurangnya kemampuan atau kapasitas untuk bersyukur dan menerima keadaan diri. ππΎπ²π¨π©΅
Daftar Pustaka
Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice Hall.
Berger, J., & Milkman, K. L. (2012). What makes online content viral? Journal of Marketing Research, 49(2), 192β205. https://doi.org/10.1509/jmr.10.0353
Boyd, D. (2014). Itβs complicated: The social lives of networked teens. Yale University Press.
Craig, A. D., & Dayan, P. (2014). The basal forebrain and attention: An integrated model. Frontiers in Neural Circuits, 8(58). https://doi.org/10.3389/fncir.2014.00058
Dollard, J., Doob, L. W., Miller, N. E., Mowrer, O. H., & Sears, R. R. (1939). Frustration and aggression. Yale University Press.
Hikosaka, O. (2010). The habenula: From stress evasion to value-based decision-making. Nature Reviews Neuroscience, 11(7), 503β513. https://doi.org/10.1038/nrn2866
Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2008). Cyberbullying: An exploratory analysis of factors related to offending and victimization. Deviant Behavior, 29(2), 129β156. https://doi.org/10.1080/01639620701457816
Jenkins, H. (2006). Convergence culture: Where old and new media collide. New York University Press.
Katz, E., Blumler, J. G., & Gurevitch, M. (1974). Utilization of mass communication by the individual. In J. G. Blumler & E. Katz (Eds.), The uses of mass communications: Current perspectives on gratifications research (pp. 19β32). SAGE Publications.
Noelle-Neumann, E. (1974). The spiral of silence: A theory of public opinion. Journal of Communication, 24(2), 43β51. https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.1974.tb00367.x
Pariser, E. (2011). The filter bubble: What the Internet is hiding from you. Penguin Press.
Shirky, C. (2008). Here comes everybody: The power of organizing without organizations. Penguin Press.
Suler, J. (2004). The online disinhibition effect. CyberPsychology & Behavior, 7(3), 321β326. https://doi.org/10.1089/1094931041291295
Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. In W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The social psychology of intergroup relations (pp. 33β47). Brooks/Cole.
Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale University Press.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.
Twenge, J. M. (2017). iGen: Why today’s super-connected kids are growing up less rebellious, more tolerant, less happyβand completely unprepared for adulthood. Atria Books.
Wrangham, R. (2019). The goodness paradox: The strange relationship between virtue and violence in human evolution. Pantheon Books.