Rangkaian Melati dari Bantar Gebang
Tahukah anda bahwa unggahan saya yang hampir setiap hari menyapa di beranda digital WA, banyak juga mendapat respon dari teman-teman di berbagai penjuru dunia. Senang rasanya dari tulisan-tulisan ringan bapak-bapak gabut seperti saya ini, ternyata dapat memantik silaturahim, baik dengan teman lama ataupun teman baru yang berkomentar karena tertarik.
Dari teman-teman itulah saya mendapat banyak masukan, saran, dan juga kadang-kadang complaint, bahkan sanggahan atau koreksi. Senang sekali rasanya, karena hal inilah yang memang membuat saya dengan “tebal muka” terus saja mengunggah tulisan random dengan berbagai topik yang kadang absurd, dan kadang irrelevant dengan tema sentral grup perbincangannya. Pikir saya sederhana, kan tulisan itu jika tidak berkenan untuk dibaca tinggal diskip saja bukan?
Nah pagi ini saya mendapat “protes” dari seorang sahabat lama, alumni FEB UI yang kini berkarier di industri aroma, flavor dan fragan. Beliau dengan galak dan kenes berkata, “aku kena prank, uda baca dengan sangat gembira tulisan pagi tadi, yang bercerita soal aroma ulen bakar dan sistem olfaksi manusia, tiba-tiba isi tulisan nikung seenaknya ke soal game dan teknologi digital. ”
Baiklah Kaka, untuk mengobati rasa kecewa karena soal flavor dan fragan tadi pagi mungkin dianggap cuma gimmick belaka, maka sore ini langsung kita coba penuhi harapannya.
Sistem penghiduan, atau olfaksi, adalah salah satu indera tertua yang berevolusi di kerajaan Animalia. Bahkan banyak peneliti biologi seperi Mas Arya dari PBMI percaya bahwa kemampuan mengenali senyawa kimia adalah salah satu modal dasar organisme untuk bertahan hidup.
Pada tingkat paling primitif, prokariot seperti bakteri sudah mampu mendeteksi gradien kimia di lingkungannya untuk mencari makanan atau menghindari bahaya. Fenomena ini menjadi dasar bagi pengembangan sistem olfaksi pada organisme multiseluler (Axel, 1991).
Pada vertebrata akuatik, seperti ikan, sistem penghiduan berevolusi untuk mendeteksi molekul yang larut dalam air, sedangkan pada vertebrata darat seperti mamalia, sistem ini berubah untuk menangkap molekul volatil di udara. “Adaptasi ini memungkinkan hewan untuk mendeteksi predator, mencari makanan, dan mengenali pasangan,” kata Linda Buck, peraih Nobel dalam Fisiologi (2004) atas penelitiannya tentang reseptor olfaktori.
Pada manusia, meskipun kemampuan penghiduan berkurang dibandingkan dengan spesies lain seperti anjing atau tikus, hubungan olfaksi dengan emosi dan memori berkembang secara unik. Evolusi ini memungkinkan manusia menggunakan bau untuk membangun ikatan sosial dan menciptakan kenangan yang bertahan lama.
Mergo ambumu iku, aku kepincut sliramu, tresnoku yo mung kowe, ora ono liyane.
Penelitian terbaru mengungkap bahwa manusia dapat mengenali hingga 1 triliun jenis bau berbeda (Bushdid et al., 2014). Kemampuan ini berasal dari sekitar 400 jenis reseptor olfaktori, masing-masing mampu mendeteksi berbagai jenis molekul bau. Kombinasi pola aktivasi reseptor-reseptor ini menciptakan sidik jari unik untuk setiap aroma yang terdeteksi.
Klasifikasi jenis bau menunjukkan beberapa kategori dasar: floral (bunga), fruity (buah), earthy (tanah), spicy (pedas), smoky (asap), fishy (amis), dan pungent (tajam).
“Sistem olfaktori adalah mesin pemrosesan pola yang sangat kompleks,” jelas Stuart Firestein, ahli neurobiologi di Columbia University. Kombinasi pola ini memungkinkan manusia merasakan dunia melalui dimensi kimia yang kaya.
Salah satu contoh betapa istimewanya sistem penghidu sebagai jembatan antara manusia dengan semesta dapat dicermati pada saat hujan menyapa tanah kering di penghujung kemarau yang telah lama mendamba. Ada seuntai cerita yang ditulis bersama oleh mikroba Actinomycetes dengan minyak tumbuhan yang menghasilkan hadirnya petrichor, atau bau tanah saat hujan.
Ketika molekul bau seperti geosmin (yang memberi bau khas petrichor) atau minyak volatil dari tumbuhan dihirup, molekul tersebut larut dalam lapisan mukosa di epitel olfaktori. Proses ini mengaktifkan reseptor olfaktori spesifik melalui mekanisme berbasis protein G, yang memicu kaskade sinyal kimia. Neuron olfaktori kemudian mengirimkan impuls melalui bulbus olfaktorius ke berbagai area otak, termasuk korteks piriformis, amigdala, dan korteks orbitofrontal.
Bulbus olfaktorius memainkan peran penting sebagai pusat pengolahan awal. Menurut Shepherd (2004), “Bulbus olfaktorius menciptakan peta bau, pola unik dari glomeruli yang diaktifkan berdasarkan struktur kimia molekul bau.” Peta ini kemudian diterjemahkan ke dalam persepsi aroma yang kemudian kita kenali, bahkan kita jadikan bagian dari memori.
Tidak seperti indera lain, sinyal penciuman tidak melewati thalamus sebelum mencapai otak, tetapi langsung menuju sistem limbik, yang meliputi amigdala dan hipokampus. Jalur langsung ini menjelaskan mengapa bau sangat terkait dengan emosi dan memori. “Olfaksi adalah pintu gerbang ke sistem limbik, pusat emosi dan kenangan manusia,” demikian kata Rachel Herz, ahli psikologi dari *Brown University.
Fenomena ini sering disebut efek Proustian, berdasarkan karya Marcel Proust yang menggambarkan bagaimana bau tertentu dapat memicu kenangan emosional yang jelas. Saat seseorang mencium aroma seperti petrichor, bau khas tanah setelah hujan, hipokampus mengaitkan aroma tersebut dengan kenangan spesifik, seperti bermain di bawah hujan saat kecil. Aktivasi amigdala kemudian menambahkan elemen emosional, misalnya rasa nyaman atau nostalgia, dan engkau beserta segenap kenangan indahmu akan datang menyelimuti segenap isi otakmu pada saat kau hirup pesan hujan di sore itu.
Selain memengaruhi emosi, molekul bau juga dapat memodulasi sistem endokrin. Penelitian menunjukkan bahwa aroma seperti lavender dapat menurunkan kadar kortisol, hormon stres, sementara aroma mawar meningkatkan pelepasan oksitosin, hormon cinta dan ikatan sosial (Kiecolt-Glaser et al., 2008). Molekul seperti feromon juga dapat mempengaruhi pelepasan hormon seks melalui jalur yang melibatkan hipotalamus.
Interaksi ini menunjukkan bagaimana bau dapat mempengaruhi tubuh secara holistik, menghubungkan otak, hormon, dan perilaku. “Bau tidak hanya menjadi pengalaman sensorik, tetapi juga pengatur atau regulator biologi manusia yang mendalam,” kata Herz.
Dari penjelasan di atas, kita jadi paham, bahwa dalam dunia cinta dan olah asmara kadang bunga menjadi penyampai pesan yang ternyata tak semata perkara warna dan estetika belaka, melainkan dapat pula menjadi pembangkit rasa yang menghadirkan aura tak kasat mata berupa terpentaskannya berbagai drama di otak manusia.
Maka tak heran pula, jika di Indonesia rangkaian Melati, dan meski mungkin warisan Belanda, Mawar, selalu hadir bersama dengan Sedap Malam dan kembang tujuh rupa dalam acara sakral seperti pernikahan dan prosesi yang bersifat ritual atau laku spiritual.
Aroma bunga seperti mawar (Rosa spp.) dan melati (Jasminum spp.) berasal dari senyawa kimia volatil yang disebut molekul aroma. Senyawa ini dilepaskan oleh bunga untuk menarik penyerbuk seperti lebah dan kupu-kupu. Molekul-molekul tersebut memiliki struktur kimia yang spesifik dan memberikan aroma khas bunga tersebut.
Aroma mawar sendiri berasal dari berbagai senyawa, di antaranya, Geraniol, suatu gugus alkohol monoterpen yang berbau manis dan khas bunga. Struktur kimianya adalah C₁₀H₁₈O. Lalu ada Citronellol, gugus alkohol dengan aroma mawar khas yang sering digunakan sebagai bahan parfum. Struktur kimianya adalah C₁₀H₂₀O.
Dan di mawar pula, ada sang molekul cinta Phenylethyl alcohol (PEA) atau Fenetil adalah alkohol aromatik yang memberikan aroma bunga lembut. Struktur kimianya adalah C₆H₅CH₂CH₂OH. Tak lupa ada Damascenone, suatu senyawa terpenoid dengan kontribusi aroma mawar yang berspektrum luas dan memberikan sensasi manis. Molekul-molekul ini pada umumnya memiliki rantai hidrokarbon dan gugus fungsional seperti hidroksil (-OH) yang memberikan sifat volatil dan larut dalam lipid.
Sementara pada rangkaian Melati yang biasanya membuat suasana dalam ritual terasa begitu sakral, terdapat kandungan beberapa zat aktif sebagai berikut; Jasmon, suatu gugus lakton siklik yang memberikan aroma manis dan aroma bunga. Struktur kimianya adalah C₁₂H₁₈O₃. Lalu ada Indole, suatu senyawa aromatik heterosiklik yang memberikan aroma melati yang intens. Struktur kimianya adalah C₈H₇N.
Kemudian ada Linalool, gugus alkohol monoterpen dengan aroma manis bunga. Struktur kimianya adalah C₁₀H₁₈O. Teridentifikasi pula ada Benzyl acetate, suatu ester yang memberikan aroma bunga yang ringan dan menyegarkan. Struktur kimianya adalah C₉H₁₀O₂.
Maka tak heran jika sebuket bunga di saat wisuda atau lamaran pada si dia yang amat dicinta, atau juga rangkaian Melati pada pakaian adat saat prosesi pernikahan yang sakral, dapat pula berperan untuk memodulasi suasana hati dan mengonstruksi persepsi sejalan dengan tujuan inti dari acara yang tengah dijalani. Studi oleh Kiecolt-Glaser et al. (2008) menunjukkan bahwa paparan aroma melati dan mawar dapat menurunkan kortisol dan meningkatkan oksitosin, menghasilkan perasaan tenang dan bahagia.
Penelitian lain menemukan bahwa aroma floral dapat meningkatkan aktivitas gelombang otak alfa, yang dikaitkan dengan relaksasi dan pengurangan stres.
Tapi tak hanya melalui sesuatu yang indah, sakral dan berkesan saja aroma atau molekul bau dan sistem penghidu memberi makna dalam hidup kita. Terkadang bau menyengat nan menantang seperti sensasi yang bisa kita rasakan di Bantar Gebang pada suatu situasi tertentu justru lebih diperlukan agar kita survive dan bisa bertahan hidup. Bau busuk nan amis yang amat menusuk ini dikenal sebagai Putrescine.
Kehadiran putrescine dapat mewartakan hadirnya masalah karena adanya proses dekomposisi biologis tengah terjadi. Dan materi organik yang meluruh dapat menjadi media tumbuh bagi berbagai mikroba patogen yang dapat membahayakan tubuh. Putrescine (1,4-diaminobutane) adalah senyawa organik yang termasuk dalam kelompok poliamina. Senyawa ini memiliki struktur kimia NH₂(CH₂)₄NH₂ dan merupakan hasil dekomposisi protein yang mengandung asam amino seperti arginin.
Putrescine memiliki aroma khas yang kuat menusuk indra olfaksi dan kerap menghadirkan sensasi tidak menyenangkan. Maka putrescine ini sering dikaitkan dengan bau pembusukan dan bau TPA seperti Bantar Gebang yang telah lama menjadi terminal akhir perjalanan limbah ibukota.
Kini di Bantar Gebang telah mulai beroperasi sistem pemasok tenaga listrik berbasis pengolahan sampah. Karena listrik dari limbah yang didominasi unsur organik bisa didapat melalui pemanenan gas metana, ataupun pemanfaatan panas dari hasil pembakaran insinerator.
Sementara putrescine sendiri dihasilkan melalui proses biologis, terutama selama dekomposisi protein. Mekanismenya antara lain adalah;
1. Deaminasi asam amino arginin oleh enzim arginase, menghasilkan ornithine.
2. Dekarboksilasi ornithine oleh enzim ornithine decarboxylase (ODC), menghasilkan putrescine.
Dalam tubuh manusia, akumulasi putrescine dapat menjadi indikator adanya kelainan metabolik atau kanker tertentu, kondisi ini terutama karena adanya indikasi aktivitas abnormal enzim ornithine decarboxylase.
Putrescine ternyata juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam produksi poliamida seperti nylon-4,6, yang merupakan plastik ramah lingkungan. Tapi yang terpenting tentu saja putrescine ini adalah indikator tentang telah terjadinya proses pembusukan atau dekomposisi organik. Juga dapat menjadi indikator terkait keberadaan neoplasma di tubuh penderita, juga tentu saja dapat menjadi indikator terkait kesegaran berbagai jenis makanan, termasuk daging dan ikan.
Artinya jika boleh kita simpulkan secara cepat dalam tempo yang relatif singkat, dan kalimat-kalimat yang padat, baik bau wangi floral, bau volatil dari molekul aerosolik, sampai bau bangkai yang bernama putrescine, semua punya peran dan saling berkelindan dalam berbagai tahapan kehidupan. Semua komponen dalam ranah bau punya peran signifikan. Peran penting dan tak tergantikan, seperti peran aroma smoothies yoghurt strawberry yang sudah sedari tadi mendistraksi konsentrasi saya dalam menulis unggahan sore ini. Hingga tampaknya saya harus mengakhiri tulisan ini disini, selamat mengendus-endus ya, semoga sistem perhiduan kita dapat membuat kita lebih pandai lagi mensyukuri segenap nikmat biologi yang telah dicurahkan Sang Maha Pencinta sejati. 🙏🏾🩵🇲🇨
Daftar Pustaka
Axel, R. (1991). The molecular logic of smell. Scientific American, 264(6), 154–159. https://doi.org/10.1038/scientificamerican0691-154
Buck, L., & Axel, R. (2004). A novel multigene family may encode odorant receptors: A molecular basis for odor recognition. Cell, 65(1), 175–187. https://doi.org/10.1016/0092-8674(91)90418-X
Bushdid, C., Magnasco, M. O., Vosshall, L. B., & Keller, A. (2014). Humans can discriminate more than 1 trillion olfactory stimuli. Science, 343(6177), 1370–1372. https://doi.org/10.1126/science.1249168
Firestein, S. (2001). How the olfactory system makes sense of scents. Nature, 413(6852), 211–218. https://doi.org/10.1038/35093026
Herz, R. S. (2004). A naturalistic analysis of autobiographical memories triggered by olfactory, visual, and auditory stimuli. Chemical Senses, 29(3), 217–224. https://doi.org/10.1093/chemse/bjh025
Kiecolt-Glaser, J. K., Graham, J. E., Malarkey, W. B., Porter, K., Lemeshow, S., & Glaser, R. (2008). Olfactory influences on mood and autonomic, endocrine, and immune function. Psychoneuroendocrinology, 33(3), 328–339. https://doi.org/10.1016/j.psyneuen.2007.11.015
Shepherd, G. M. (2004). The human sense of smell: Are we better than we think? PLoS Biology, 2(5), e146. https://doi.org/10.1371/journal.pbio.0020146
Proust, M. (1927). À la recherche du temps perdu [In Search of Lost Time]. Éditions Gallimard.