Smart Health 4 Smart People
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan BPJS sebagai penyelenggara sistem penjaminan kesehatan nasional dalam berbagai kesempatan terus berupaya untuk meminimalisir terjadinya akumulasi kasus-kasus kesehatan yang bersifat katastropik dan dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan.
Penyakit katastropik sendiri adalah penyakit yang memerlukan perawatan medis jangka panjang dengan biaya tinggi, dan menjadi tantangan signifikan bagi sistem kesehatan Indonesia. Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI memberikan gambaran mengenai beratnya beban negara yang ditimbulkan penyakit ini.
Pada tahun 2021, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencatat 19,6 juta kasus penyakit katastropik. Dimana stroke menjadi penyakit katastropik dengan pembiayaan terbesar ketiga setelah penyakit jantung dan kanker, yaitu Rp3,23 triliun pada tahun 2022, meningkat dari Rp1,91 triliun pada tahun 2021.
Menurut Riskesdas 2018, prevalensi stroke meningkat dari 7 per 1.000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 10,9 per 1.000 penduduk pada tahun 2018. Sementara pada tahun 2021, BPJS Kesehatan mengeluarkan Rp7,7 triliun untuk pembiayaan penyakit jantung, menjadikannya penyakit dengan biaya klaim tertinggi. Sedangkan pembiayaan untuk penyakit kanker menempati urutan kedua setelah penyakit jantung, dengan total Rp3,5 triliun pada tahun 2021.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi penyakit jantung meningkat dari 0,5% pada tahun 2013 menjadi 1,5% pada tahun 2018. Penyakit jantung koroner lebih dominan pada masyarakat perkotaan. Prevalensi hipertensi meningkat dari 25,8% pada 2013 menjadi 34,1% pada 2018. Dimana hipertensi dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus-kasus gagal ginjal. Pada tahun 2020, pembiayaan untuk kasus gagal ginjal mencapai Rp2,24 triliun, setara dengan 11,2% dari total pembiayaan penyakit katastropik.
Sedangkan menurut data Global Cancer Observatory (Globocan) tahun 2022, Indonesia mencatat 408.661 kasus baru kanker dengan 242.099 kematian. Kanker payudara dan leher rahim adalah jenis kanker tertinggi pada perempuan, sementara kanker paru-paru dan kolorektal dominan pada laki-laki.
Studi di Jakarta melaporkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 28,4%, dengan komponen utama seperti obesitas sentral, hipertensi, dan dislipidemia.
Sementara dalam perkembangannya sindroma metabolik akan menjadi diabetes melitus tipe 2. Indonesia sendiri saat ini menempati peringkat ketujuh dunia dengan jumlah pasien diabetes mencapai 18 juta pada 2020, meningkat 6,2% dari tahun sebelumnya.
Dari aspek gaya hidup atau lifestyle tampaknya ada korelasi antara peningkatan kasus-kasus degeneratif metabolik dan penyakit katastropik yang mengikutinya dengan hadirnya fenomena miskin gerak. Dimana kondisi miskin gerak ini secara asumtif dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti desain fasilitas layanan publik yang belum mengakomodir perlunya konsep bergerak bagi masyarakat.
Kondisi ini tercermin dari kondisi pedestrian/trotoar, taman kota, atau berbagai pusat layanan publik yang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan kendaraan.
Faktor berikutnya adalah belum terintegrasinya konsep transportasi massal di level urban dan sub urban, hingga masyarakat lebih mengedepankan penggunaan kendaraan pribadi yang tentu saja menjadi penyumbang utama polusi dan emosi dari gas buangnya, serta berpotensi menimbulkan kemacetan yang pada gilirannya akan memantik stress psikologis yang berkepanjangan dan mengakibatkan terjadinya kerentanan terhadap penyakit karena sistem imun yang disupresi atau ditekan oleh hormon cemas seperti kortisol.
Salah satu solusi dalam hal transportasi yang kini juga telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat urban adalah transportasi daring. Dimana konsep dasar dari sistem transportasi ini adalah sifatnya yang point to point, hingga semakin mendorong orang untuk tidak banyak bergerak. Sementara sifat berikutnya adalah personal dan bukan massal, maka tentulah akan menambah volume kendaraan di jalanan yang berkorelasi dengan peningkatan emisi gas buang bukan?
Sementara beberapa studi menunjukkan bahwa paparan polusi udara kronis dapat memicu neuroinflamasi. Polutan udara, terutama PM2.5, dapat melewati penghalang darah-otak (blood brain barrier), dan menyebabkan peradangan di sistem syaraf pusat.
Peningkatan radikal bebas yang merusak jaringan syaraf, berkontribusi pada penyakit neurodegeneratif melalui mekanisme stress oksidatif. Sementara gangguan neurotransmiter seperti paparan CO dan NO2 dapat mengganggu keseimbangan neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin, yang berperan penting dalam suasana hati dan fungsi kognitif.
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa paparan polusi udara tinggi meningkatkan risiko depresi dan gangguan kecemasan hingga 20-30%. Sementara polutan udara, khususnya PM2.5, dikaitkan dengan peningkatan kejadian gangguan bipolar.
Paparan jangka panjang terhadap NO2 dan PM2.5 diduga dapat meningkatkan risiko demensia melalui mekanisme neuroinflamasi dan stres oksidatif. Sementara anak-anak yang tinggal di daerah dengan tingkat polusi udara tinggi memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif.
Bahkan ada suatu studi longitudinal yang menunjukkan peningkatan insiden gangguan kognitif pada populasi yang terpapar polusi udara berat selama lebih dari 5 tahun. Maka tentu penggunaan kendarana pribadi, transportasi daring, dan maraknya industri yang dikembangkan tidak sesuai dengan tata ruang, dapat menjadi penyebab utama terjadinya perubahan neuropsikiatri masyarakat urban dan sub urban yang berada di daerah kantong penyokong.
Survei yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada Agustus-September 2022 menunjukkan bahwa 82% responden menggunakan Gojek, diikuti oleh Grab (53%), Maxim (19,6%), dan inDriver (4,9%). Sementara
data perjalanan harian yang didapat dari Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) pada tahun 2021, mengungkapkan bahwa mayoritas pengguna transportasi di Jabodetabek menempuh jarak lebih dari 20 kilometer dalam sekali perjalanan, yang berarti lebih dari 40 kilometer pulang-pergi setiap hari. Bayangkan betapa tingginya probabilitas untuk terpapar polusi dari emisi gas buang berbagai moda transportasinya di setiap hari.
Tak dapat dipungkiri bahwa transportasi daring telah memainkan peran penting dalam mobilitas harian masyarakat Indonesia, dengan mayoritas pengguna menempuh jarak signifikan setiap hari dan mengalokasikan anggaran khusus untuk layanan ini. Survei Pola Perilaku Masyarakat Indonesia Saat Menggunakan Transportasi Online 2023 oleh Goodstats menemukan bahwa 65,7% responden menghabiskan kurang dari Rp300.000 per bulan untuk transportasi daring. Sebanyak 21,6% responden mengalokasikan antara Rp300.000 hingga Rp500.000 per bulan, dan 1,4% responden menghabiskan hingga Rp3.000.000 per bulan.
Tak hanya soal minim gerak dan polusi dari sistem transportasi saja, melainkan ada beberapa faktor yang secara kasat mata dapat kita lihat telah menjadi bagian dari gaya hidup yang mendorong semakin tingginya masalah kesehatan masyarakat. Khususnya terkait dengan pola konsumsi, konsumerisme, dan asupan makanan dengan komposisi kandungan nutrisi yang kurang ideal untuk kesehatan.
Sebagai contoh ada trend statistik yang menunjukkan peningkatan konsumsi komoditas pangan tertentu seperti mie instan yang meningkat pesat. Pada tahun 2022, penjualan mi instan di Indonesia mencapai US$3,61 miliar (sekitar Rp54,01 triliun), meningkat 9,05% dari tahun sebelumnya. Indonesia juga menjadi konsumen mi instan terbesar kedua di dunia dengan konsumsi 14,54 miliar porsi pada tahun 2023. Sejalan dengan tren konsumsi makanan siap saji menunjukkan peningkatan, terutama selama pandemi COVID-19, di mana penjualan daring meningkat. Data Badan POM mencatat sekitar 121 produk pangan siap saji terdaftar antara 2018 hingga 2020.
Memang di sisi lain, kondisi tersebut juga mendorong terjadinya peningkatan aktivitas ekonomi nasional dari sektor industri pangan. Produksi makanan ringan dan minuman ringan dalam kemasan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut laporan United States Department of Agriculture (USDA), nilai penjualan ritel makanan dan minuman kemasan di Indonesia mencapai USD 40,11 miliar pada tahun 2022, meningkat setiap tahun sejak 2018.
Pertumbuhan ini didorong oleh beberapa faktor, termasuk urbanisasi, perubahan gaya hidup, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Demografi konsumen makanan ringan pada tahun 2021 didominasi oleh generasi milenial dan Gen Z, yang mencapai 55% dari total konsumen.
Namun, peningkatan konsumsi makanan dan minuman ringan juga berkontribusi pada asupan gula dan garam yang berlebihan di masyarakat. Kementerian Kesehatan RI merekomendasikan batas konsumsi harian gula sebesar 50 gram (4 sendok makan) dan garam sebesar 5 gram (1 sendok teh) per orang.
Konsumsi gula berlebih, baik dari makanan maupun minuman, dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan seperti gula darah tinggi, obesitas, dan diabetes melitus. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memperhatikan asupan gula dan garam, terutama yang berasal dari makanan dan minuman ringan dalam kemasan.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI juga telah mengeluarkan regulasi untuk membatasi kandungan gula, garam, dan lemak dalam produk pangan olahan guna mencegah peningkatan prevalensi penyakit tidak menular.
Selama dekade terakhir, konsumsi barang konsumsi (consumer goods) di Indonesia mengalami dinamika yang dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, perubahan demografi, dan peristiwa global seperti pandemi COVID-19. Dimana pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan indikator utama dalam menilai konsumsi barang konsumsi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pengeluaran konsumsi bulanan per kapita meningkat dari Rp1,03 juta pada 2017 menjadi Rp1,26 juta pada 2021, menunjukkan pertumbuhan sekitar 22% dalam lima tahun tersebut.
Kondisi ini dapat menjadi asupan bagi sistem analisis data kesehatan cerdas, yang dapat mengaitkan kondisi ekonomi, laju inflasi, dan daya beli dengan pilihan jenis produk makanan yang akan dikonsumsi. Inflasi mempengaruhi daya beli dan pola konsumsi masyarakat. Kategori utama dalam IHK Indonesia meliputi makanan, minuman, dan tembakau (25% dari total bobot); perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga (20,4%); serta transportasi (12,4%).
Apa yang dibeli dan apa yang tak lagi dikonsumsi dapat memprediksi kasus-kasus kesehatan apa yang punya kemungkinan untuk terjadi dengan tingkat probabilitas tinggi. Gerak semakin minim, stress semakin tinggi, daya beli berkurang, dan pilihan makanan menjadi semakin terbatas, ditambah lagi gerai retail atau convenience store semakin menjamur sejalan dengan semakin meningkatnya pula transaksi daring yang memberikan banyak kemudahan untuk menuntaskan keinginan, yang terkadang bukan merupakan suatu kebutuhan.
Untuk sekedar diketahui saja bahwa pada awal 2024, Indonesia memiliki 185,3 juta pengguna internet, yang mewakili 66,5% dari total populasi. Angka ini menunjukkan peningkatan 0,8% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara tingkat penetrasi e-commerce di Indonesia terus meningkat, mencapai 21,56% pada tahun 2023. Proyeksi menunjukkan angka ini akan naik menjadi 34,84% pada tahun 2029. Artinya orang akan semakin mudah mendapatkan apapun dengan harga yang semakin murah, termasuk yang terkait dengan pola asupan konsumsinya bukan? Selain itu internet, marketplace, media sosial, dll pada gilirannya dapat menjadi sumber informasi yang bias dan sumber stress yang dapat berdampak pada status kesehatan seseorang bukan ?
Bank Indonesia memperkirakan nilai transaksi e-commerce mencapai Rp. 474 triliun pada tahun 2023, dengan proyeksi pertumbuhan 2,8% menjadi Rp487 triliun pada tahun 2024, dan 3,3% menjadi Rp503 triliun pada tahun 2025. Laporan e-Conomy SEA 2024 memproyeksikan ekonomi digital Indonesia mencapai GMV sebesar USD 90 miliar pada tahun 2024, meningkat 13% dari tahun sebelumnya. Meski pertumbuhan penetrasi internet dan adopsi e-commerce di Indonesia menunjukkan tren positif, didukung oleh peningkatan infrastruktur digital dan perubahan perilaku konsumen, kita tentu perlu mewaspadai potensinya untuk memfasilitasi budaya dan gaya hidup yang kurang sehat.
Tapi tak dapat dipungkiri pula, bahwa keberadaan convinience store dengan produk unggulan, selain consumer goods, adalah produk makanan atau bahan makanan yang harganya bersahabat (affordable), dapat menjadi salah satu pemantik meningkatnya kasus-kasus degeneratif dan penyakit katastropik di tanah air kita. Tentu ini masih bersifat hipotetikal dan membutuhkan suatu penelitian yang terstruktur, sistematik, dan sejalan dengan kaidah akademik untuk membuktikannya.
Sebagai gambaran, elok kiranya jika kita menilai performa entitas penyelenggara bisnis convinience store yang 40-50% nya dikembangkan secara waralaba (franchise). Pada kuartal pertama tahun 2023, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. (Alfamart) mencatat pendapatan bersih sebesar Rp26,16 triliun, meningkat 14,22% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, PT Indomarco Prismatama (Indomaret) membukukan penjualan bersih sebesar Rp25,61 triliun, naik 8,99% dari kuartal pertama tahun 2022.
Dari sisi profitabilitas, laba bersih Alfamart pada periode tersebut mencapai Rp775,82 miliar, tumbuh 14,80% secara tahunan. Sebaliknya, laba bersih Indomaret mengalami penurunan 45,17%, menjadi Rp291,87 miliar. Hingga akhir Maret 2023, Alfamart mengoperasikan 18.004 gerai, bertambah 191 gerai dari akhir tahun 2022. Sementara itu, Indomaret dan Alfamart masing-masing memiliki sekitar 22.000 toko pada akhir September 2023.
Ekspansi dari jaringan waralaba convinience store ini yang telah menjangkau desa-desa di berbagai pelosok Nusantara, membuka kemungkinan semakin tingginya akses kepada produk-produk makanan tinggi gula, garam, dan lemak bukan? Produk-produk makanan dengan harga terjangkau dan rasa yang menyenangkan serta tentu saja dapat menjadi salah faktor yang menjadi pertimbangan untuk membeli dan mengonsumsi. Peran raw food dan proses slow cooking akan semakin berkurang, dan budaya instan akan datang lebih masif mensubstitusi.
Jadi secara objektif, semestinya kita dapat membuat sebuah kajian strategis terkait berbagai faktor yang berkontribusi pada peningkatan penyakit degeneratif metabolik yang sebagian diantaranya bersifat katastropik bukan ? Ada persoalan ekonomi, industri, daya beli, psikologi, sosial, sampai perencanaan kota yang mengakomodir aspek transportasi dan sarana prasarana publik yang semestinya cerdas dalam memfasilitasi upaya peningkatan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat bukan ?
Semoga ke depan konsep smart city, smart region, smart environment, smart habitat, smart government, dan smart health dapat bersifat holistik, terintegrasi, dan terlebih dahulu memiliki gambaran serta data fundamental agar dapat mengembangkan konsep algoritma aksinya sejalan dengan visi yang telah terpetakan semenjak dini. ππΎπ²π¨π©΅
Bahan Bacaan Lanjut
Badja, D. (2021, April 7). Pasien diabetes meningkat selama pandemi, Indonesia peringkat 7 tertinggi di dunia. Kompas. Retrieved from https://www.kompas.com/sains/read/2021/04/07/110100223/pasien-diabetes-meningkat-selama-pandemi-indonesia-peringkat-7-tertinggi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. (n.d.). Statistik pembiayaan penyakit katastropik. Retrieved from https://jurnal-jkn.bpjs-kesehatan.go.id/index.php/jjkn/article/view/104
Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik e-commerce 2022-2023. Retrieved from https://www.bps.go.id/publication/2023/09/18/f3b02f2b6706e104ea9d5b74/statistik-ecommerce-2022-2023.html
Data Reportal. (2024). Digital 2024: Indonesia. Retrieved from https://datareportal.com/reports/digital-2024-indonesia
Goodstats. (2023). Besaran budget masyarakat untuk transportasi online. Retrieved from https://data.goodstats.id/statistic/sampai-rp3-jutabulan-ini-besaran-budget-masyarakat-untuk-transportasi-online-HqnuL
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). (2022). Penggunaan transportasi daring di Indonesia. Retrieved from https://ekonomi.bisnis.com/read/20221208/98/1606203/gojek-pimpin-pasar-transportasi-dan-logistik-online
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2021). Pola konsumsi masyarakat Indonesia terkait kesehatan. Retrieved from https://kemkes.go.id
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Rilis media: Penyakit jantung dan stroke sebagai penyebab utama kematian. Retrieved from https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20220929/0541166/penyakit-jantung-penyebab-utama-kematian-kemenkes-perkuat-layanan-primer/
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Strategi komprehensif penanganan kanker di Indonesia. Retrieved from https://p2ptm.kemkes.go.id/informasi-p2ptm/strategi-komprehensif-penanganan-kanker-di-indonesia-rencana-kanker-nasional-2024-2034
United States Department of Agriculture. (2022). Retail food sector report: Indonesia. Retrieved from https://dataindonesia.id
Yankes Kemenkes RI. (2023). Biaya klaim penyakit jantung dan kanker pada BPJS Kesehatan. Retrieved from https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2118/