JALAN KAKI
Hampir setiap hari saya berjalan kaki dengan durasi, jarak, dan kecepatan atau pace yang tak tentu. Yang penting jalan saja. Terkadang kalau tempat yang dituju terlalu jauh dan kuota waktu telah mendekati limit karena sebentar lagi acara akan dimulai dan prakiraan waktu tempuh di Google Map yang canggih menunjukkan bahwa saya takkan dapat datang tepat sesuai dengan appointment yang telah dibuat, biasanya saya mengambil langkah darurat.
Buka hape dan gunakan aplikasi transportasi daring untuk mencari angkutan tercepat yang dapat mencegah terjadinya situasi gawat karena saya telat.
Mengapa saya suka sekali jalan kaki? Sejujurnya saya juga suka sekali naik sepeda, kereta api, ataupun dibonceng sepeda motor, karena masing-masing punya sensasi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Masing-masing unik dan selalu punya cerita tersendiri, meski jalur yang dilewati sama. Kecepatan dan posisi pengamatan kita amat menentukan sudut pandang kita yang pada gilirannya tentu akan mempengaruhi persepsi yang dikonstruksi oleh sistem kognisi.
Asyiknya dengan berjalan kaki itu, saya dapat mengamati sekitar dengan lebih lambat, hingga banyak hal yang semula terlewat saat kita berlalu dengan kendaraan yang melaju cepat jadi dapat diamati dengan lebih cermat.
Saat berjalan kaki itu, saya bisa bertemu dengan tukang baso yang murah dan lezat, mie ayam di dalam gang sempit, juga bertemu banyak orang dari berbagai kalangan, yang sebagian di antaranya bahkan kini menjadi teman. Berhenti sejenak, menyapa dan mengobrol adalah hal yang niscaya dapat dilakukan pada saat kita berjalan kaki.
Ini bukan lagi soal Cuan Kie, Lotek, Pecel, ataupun preman-preman pinggir kali, tapi kadang sudah menjangkau dialog-dialog yang melibatkan hati. Belakangan hari saya baru menyadari, terutama setelah saya banyak mengajak teman-teman untuk ikut juga berjalan kaki, bahwa ada banyak fakta menarik terkait kegiatan yang satu ini.
Bukankah untuk mempersuasi agar orang lain mau ikut berpartisipasi, kita perlu punya bekal informasi yang memadai agar dapat memperkuat motivasi yang tentunya akan dikonstruksi oleh langkah-langkah evaluasi berbasis kognisi sesuai dengan tuntutan intelijensi.
Jadi jalan kaki harus mampu saya jelaskan secara komprehensif dan multi dimensi. Setidaknya dari aspek fisiologi, metabolisme, dan juga neurofisiologi.
Jalan kaki sebagai aktivitas aerobik ringan hingga sedang meningkatkan pengeluaran energi dan mengoptimalkan penggunaan substrat metabolik. Otot rangka yang aktif memerlukan peningkatan pasokan ATP, yang pada intensitas rendah hingga sedang banyak bersumber dari oksidasi asam lemak dan glukosa. Aktivitas kontraktil menginduksi translokasi transporter GLUT4 dari sitosol ke membran sel otot, sehingga meningkatkan ambilan glukosa tanpa memerlukan insulin dalam jumlah besar (Zierath & Wallberg-Henriksson, 2015). Dalam jangka panjang, hal ini berkontribusi pada peningkatan sensitivitas insulin dan pengendalian glikemia pada individu sehat maupun penderita diabetes tipe 2.
Sebuah studi meta-analisis oleh Umpierre et al. (2011) dalam Diabetes Care menunjukkan bahwa aktivitas fisik moderat seperti jalan kaki secara rutin (150 menit per minggu) dapat menurunkan HbA1c sekitar 0,6-1% pada individu dengan diabetes tipe 2.
Studi oleh Colberg et al. (2010) menyatakan bahwa intervensi berjalan kaki 30 menit per hari secara konsisten meningkatkan sensitivitas insulin dan mengurangi resistensi insulin pada penderita diabetes tipe 2.
Jalan kaki juga dapat meningkatkan oksidasi asam lemak dan dapat mengubah profil lipid darah. Dalam jangka panjang, kadar trigliserida berkurang, HDL kolesterol cenderung meningkat, dan LDL dapat menurun. Studi oleh Thompson et al. (2001) menemukan bahwa aktivitas aerobik ringan hingga sedang dapat meningkatkan profil lipid secara signifikan ketika dilakukan secara rutin.
Di ranah kardiovaskuler atau jantung dan pembuluh darah, jalan kaki yang teratur dapat memicu adaptasi kardiovaskular positif, termasuk peningkatan kapilarisasi otot, peningkatan elastisitas arteri, serta perbaikan fungsi endotel. Endotel sehat memproduksi nitrik oksida/nitric oxide (NO) yang berperan dalam vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Penelitian oleh Green et al. (2004) menunjukkan bahwa latihan aerobik ringan dapat meningkatkan bioavailabilitas NO, memperbaiki fungsi endotel, dan menurunkan risiko hipertensi.
Sebuah tinjauan sistematis oleh Lee et al. (2014) dalam Circulation menemukan bahwa berjalan 2,5 jam per minggu mengurangi risiko penyakit kardiovaskular hingga 30%.
Studi epidemiologis oleh Manson et al. (2002) dalam The New England Journal of Medicine menemukan hubungan antara berjalan kaki secara rutin dan penurunan signifikan risiko penyakit jantung koroner pada wanita pasca menopause.
Jalan kaki, meski intensitasnya relatif rendah, bila dilakukan secara berkelanjutan dapat meningkatkan konsumsi oksigen maksimal (VO2 max) dalam jumlah moderat. Peningkatan VO2 max mencerminkan peningkatan kapasitas transport oksigen oleh sistem kardiovaskular dan peningkatan efisiensi otot dalam menggunakan oksigen (Bouchard et al., 2012).
Aktivitas fisik seperti jalan kaki terbukti secara signifikan berhubungan dengan peningkatan level BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor), IGF-1 (Insulin-like Growth Factor-1), dan NGF (Nerve Growth Factor). Zat-zat ini mendukung neuroplastisitas, meningkatkan pembentukan sinaps, dan mempromosikan neurogenesis di hipokampus. Erickson et al. (2011) dalam PNAS menemukan bahwa program jalan kaki selama 1 tahun pada lansia meningkatkan volume hipokampus dan memperbaiki fungsi memori.
Diketahui pula bahwa kegiatan aerobik ringan seperti jalan kaki menurunkan risiko demensia dan Alzheimer (Bherer et al., 2013). Secara neurokimia, jalan kaki meningkatkan pelepasan endorfin, serotonin, dan dopamin, yang berkontribusi pada peningkatan mood, pengurangan stres, dan risiko depresi yang lebih rendah (Hamer et al., 2012).
Kontraksi otot saat berjalan menimbulkan stress mekanis ringan pada tulang, merangsang aktivitas osteoblas, dan mencegah kehilangan massa tulang. Kohrt et al. (2004) dalam Osteoporosis International menunjukkan bahwa berjalan secara rutin mengurangi risiko osteoporosis dan fraktur panggul pada usia tua. Dimana Berjalan kaki 3-5 kali seminggu, 30-45 menit per sesi, dapat meningkatkan densitas mineral tulang hingga 1-2% per tahun pada lansia wanita pasca menopause.
Dari aspek respirasi atau kesehatan saluran pernafasan, latihan fisik ringan seperti jalan kaki dapat meningkatkan kapasitas paru-paru, memperbaiki rasio ventilasi-perfusi, dan membantu eliminasi CO2 lebih efektif. Penelitian oleh Wasserman et al. (2012) dalam Principles of Exercise Testing and Interpretation menegaskan bahwa latihan aerobik meningkatkan efisiensi penggunaan oksigen oleh otot pernapasan.
Nah bagi saya yang jalan kaki hampir setiap hari, konsekuensi agak kurang logisnya adalah saya jadi jajan dan icip-icip alias makan sambil bersosialisasi. Untuk itu biasanya saya imbangi dengan memperbanyak dosis jalan kaki. Berjalan kaki setelah makan menurut beberapa riset, dapat merangsang motilitas usus dan mempercepat waktu pengosongan lambung. Aoyama & Fukuhara (2019) melaporkan bahwa aktivitas fisik ringan seperti jalan kaki memperbaiki gejala dispepsia fungsional, mengurangi risiko konstipasi, dan meningkatkan kesehatan mikrobiota usus.
Dari aspek imunologi, latihan fisik moderat seperti jalan kaki terbukti dapat meningkatkan aktivitas sel NK dan makrofag, serta memperbaiki profil sitokin anti-inflamasi. Nieman et al. (2011) dalam Journal of Sport and Health Science menunjukkan bahwa individu yang melakukan latihan fisik ringan secara teratur mengalami penurunan frekuensi infeksi saluran napas atas hingga 40-50%. Keren kan? Orang yang banyak berjalan kaki secara teori semestinya bisa lebih sehat, bugar, dan produktif bukan?
Salah satu hasil riset yang amat menarik bagi saya adalah hubungan antara jalan kaki dengan proses pengelolaan stress; termasuk dalam hal coping, dan perbaikan secara holistik dari berbagai aspek yang terdampak.
Stres kronis telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor kunci yang memicu dan memperburuk inflamasi sistemik melalui jalur neuro-imuno-endokrin. Kondisi ini memicu pelepasan radikal bebas dan spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species, ROS) yang mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Inflamasi kronis yang dilantiknya meningkatkan risiko berbagai penyakit degeneratif, termasuk penyakit kardiovaskuler, metabolik, neurodegeneratif, dan kanker.
Antioksidan, baik yang bersumber dari diet maupun endogen, berperan penting dalam menetralkan radikal bebas, menghambat stres oksidatif, dan meredam respons inflamasi. Di sisi lain, intervensi gaya hidup seperti jalan kaki secara teratur dapat mengurangi tingkat stres, meningkatkan kapasitas antioksidan endogen, dan menurunkan inflamasi sistemik.
Respon tubuh terhadap stres psikologis dan fisiologis secara garis besar dimediasi oleh sumbu Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA). Stres kronis memicu peningkatan pelepasan kortisol, hormon glukokortikoid yang dalam jangka panjang dapat menurunkan sensitivitas jaringan terhadap kortisol itu sendiri. Paradoks ini menyebabkan disregulasi sistem imun (Dhabhar & McEwen, 1997). Akibatnya, terjadi peningkatan produksi sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, IL-1β, dan TNF-α (Miller et al., 2002).
Stres kronis juga menginduksi produksi radikal bebas serta ROS dan RNS (Reactive Nitrogen Species). Paparan stres meningkatkan aktivitas simpatis dan metabolisme sel, yang pada gilirannya memicu pembentukan ROS. ROS berlebih akan mengoksidasi lipid, protein, dan DNA, memicu kerusakan sel dan mempromosikan lingkungan pro-inflamasi (Bauer et al., 2012). Inflamasi kronis yang dilestarikan oleh kondisi stres ini dapat menyebabkan disfungsi endotel, resistensi insulin, dan aterosklerosis (Black & Garbutt, 2002).
Salah satu upaya untuk mengurangi dampak peradangan kronis yang akan menghasilkan radikal bebas melalui antara lain proses peroksidasi berantai, adalah dengan mengonsumsi anti oksidan dengan dosis yang proporsional. Pada saat kita berjalan kaki, kita dapat memilih penganan atau minuman yang kaya akan kandungan anti oksidan, misal jamu atau makanan tradisional dengan kandungan rempah dan rimpang yang tinggi.
Antioksidan adalah molekul yang dapat menetralkan radikal bebas sebelum mereka merusak struktur seluler. Tubuh memiliki mekanisme pertahanan endogen seperti enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GPx). Selain itu, sumber eksogen seperti vitamin C, vitamin E, polifenol, dan karotenoid dari pangan nabati juga membantu mempertahankan redoks homeostasis (Halliwell & Gutteridge, 2015).
Antioksidan dapat menghambat peroksidasi lipid membran, melindungi protein dan DNA dari kerusakan oksidatif, serta menurunkan aktivasi jalur NF-κB—faktor transkripsi yang berperan penting dalam ekspresi gen pro-inflamasi (Morgan & Liu, 2011). Dalam jangka panjang, asupan antioksidan yang memadai telah dikaitkan dengan penurunan biomarker inflamasi serta menurunkan risiko penyakit kronis terkait inflamasi (Calder et al., 2017).
Tapi tentu saja, selain anti oksidan yang didapat dari makanan, penyebab utama dari stres nya tentu saja harus diatasi juga. Jalan kaki adalah salah satu latihan ringan aerobik yang dapat membantu proses coping pada saat stres. Jalan kaki juga punya dampak baik pada proses metabolisme yang terkait dengan proses produksi anti oksidan endogen tubuh.
Mengapa? Karena latihan fisik intensitas ringan hingga sedang, seperti jalan kaki, memiliki efek modulasi pada sistem saraf otonom dan HPA axis. Jalan kaki yang teratur menurunkan aktivitas simpatis berlebih dan meningkatkan tonus parasimpatis, sehingga menurunkan produksi kortisol berlebih (Hamer et al., 2012). Dengan demikian, stres kronis dapat dikelola melalui peningkatan keseimbangan neuro-endokrin.
Penelitian lain menunjukkan bahwa latihan aerobik ringan seperti jalan kaki dapat meningkatkan ekspresi enzim antioksidan endogen, termasuk SOD dan GPx, melalui aktivasi jalur sinyal seluler tertentu seperti Nrf2 (Nuclear factor (erythroid-derived 2)-like 2). Nrf2 mempromosikan transkripsi gen antioksidan, memperbaiki status redoks sel, dan mengurangi kerusakan oksidatif (Done & Traustadóttir, 2016).
Beberapa hasil studi epidemiologis dan eksperimental menegaskan bahwa latihan fisik moderat, termasuk jalan kaki terbukti memang dapat menurunkan kadar CRP (C-reactive protein), IL-6, dan TNF-α pada populasi sehat dan pasien dengan sindrom metabolik (Pedersen & Febbraio, 2008). Jalan kaki selama 30 menit per hari, 5 hari per minggu, telah dikaitkan dengan penurunan signifikan marker inflamasi serta perbaikan status antioksidan (Nieman et al., 2011).
Sementara diketahui bahwa stres kronis dan inflamasi berdampak negatif pada fungsi endotel vaskular, serta dapat meningkatkan risiko hipertensi dan aterosklerosis. Jalan kaki meningkatkan produksi nitric oxide (NO) endotel, mengurangi stres oksidatif lokal, dan memperbaiki fungsi endotel. Dengan demikian, latihan ini mereduksi beban inflamasi pada dinding pembuluh darah (Green et al., 2004).
Kombinasi antara pengelolaan stres, asupan antioksidan yang cukup, dan aktivitas fisik seperti jalan kaki dapat menurunkan resiko berbagai penyakit kronis, termasuk penyakit jantung, diabetes tipe 2, obesitas, dan gangguan neurodegeneratif (Erickson et al., 2011). Dari perspektif klinis, pendekatan holistik yang meliputi penanganan stres dengan terapi perilaku, pemberian suplemen antioksidan bila diperlukan, dan intervensi gaya hidup (termasuk jalan kaki) dapat memperbaiki profil inflamasi dan menurunkan tingkat kerusakan oksidatif. Hal ini mengarah pada peningkatan kualitas hidup, produktivitas, dan kesehatan jangka panjang.
Tapi ya tak dapat dipungkiri juga, kadang saya berpikir bahwa jalan kaki itu mungkin justru agak kurang baik bagi kesehatan dan justru bisa menjadi sumber stres. Mengapa demikian? Karena saya pernah 3 kali masuk gorong-gorong karena kondisi trotoar yang kurang kondusif, emosi bergejolak karena diklakson pengendara motor saat berjalan di trotoar, dan juga menghirup banyak emisi gas buang berbagai jenis kendaraan bermotor yang tampaknya tidak semua lulus dari uji ambang batas.
Bahkan pada tanggal 13 Agustus 2024, Jakarta mencatatkan indeks kualitas udara (AQI) tertinggi di dunia dengan skor 177, yang masuk dalam kategori tidak sehat. Dimana menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta(2020), sektor transportasi menyumbang sekitar 67,04% dari total polusi udara di Jakarta. Sementara dari fakta yang ada, kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar fosil, menghasilkan emisi gas berbahaya seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat halus (PM2.5).
Penelitian yang dilakukan oleh University of Chicago menunjukkan bahwa polusi udara dapat mengurangi 2,3 tahun dari harapan hidup rata-rata individu. Greenpeace Indonesia juga memprakirakan bahwa sekitar 7.390 penduduk Jakarta meninggal lebih awal karena polusi, sedangkan sekitar 2000 bayi lahir dengan berat badan rendah karena penyebab yang sama. Populasi yang paling terdampak oleh polusi udara di antaranya adalah anak-anak, lansia, dan individu dengan penyakit komorbid.
Polusi udara menyebabkan infeksi paru maupun iritasi membran mukosa pada hidung, mulut, kulit, dan mata. Partikel dengan ukuran PM2,5 yang kecil dapat memasuki sirkulasi darah. Masuknya PM2,5 ke sirkulasi darah dapat menyebabkan kerusakan organ dalam, termasuk gangguan pada kesehatan kardiovaskuler/jantung pembuluh darah serta mengganggu kesehatan janin di dalam kandungan. (One Health Center of Excellence UGM, 2024)
Maka kalau kita kurang berhati-hati dalam menerapkan strategi berjalan kaki yang pas dan tepat, yang terjadi bisa jadi malah hal-hal yang bersifat gawat, alih-alih sehat. Perlu kepedulian kita bersama akan arti pentingnya lingkungan yang kondusif agar proses jalan kaki atau aktivitas luar ruang lainnya dapat berjalan dengan aman dan nyaman.
Ayo jalan lagi yuk, gara-gara mengetik WA ini di bawah pohon, saya jadi berhenti lama. Tak hanya mengetik WA sih sebenarnya, tapi juga sambil jajan rujak buah yang pedasnya membuat keringat mengalir lebih banyak, tinimbang saat jalan yang memang baru beberapa saat, 5 menit juga kurang 🫣😂
Daftar Rujukan
Aoyama, N., & Fukuhara, S. (2019). Exercise and functional dyspepsia. World Journal of Gastroenterology, 25(27), 3669–3681.
Bherer, L., Erickson, K. I., & Liu-Ambrose, T. (2013). A review of the effects of physical activity and exercise on cognitive and brain functions in older adults. Journal of Aging Research.
Bouchard, C., Blair, S. N., & Haskell, W. L. (Eds.). (2012). Physical Activity and Health. Human Kinetics.
Colberg, S. R., et al. (2010). Exercise and type 2 diabetes: ACSM and ADA joint position statement. Diabetes Care.
Erickson, K. I., et al. (2011). Exercise training increases size of hippocampus and improves memory. PNAS, 108(7), 3017–3022.
Green, D. J., et al. (2004). Effect of exercise training on endothelial function in humans. The Journal of Physiology.
Hamer, M., et al. (2012). Physical activity and stress resilience. American Journal of Preventive Medicine.
Kohrt, W. M., et al. (2004). Exercise and bone health. Osteoporosis International, 15, 761–769.
Lee, I. M., et al. (2014). Effect of physical inactivity on major non-communicable diseases worldwide. The Lancet.
Manson, J. E., et al. (2002). Walking compared with vigorous exercise for the prevention of cardiovascular events in women. The New England Journal of Medicine.
Nieman, D. C., et al. (2011). Upper respiratory tract infection is reduced in physically fit and active adults. British Journal of Sports Medicine.
Thompson, P. D., et al. (2001). Exercise and physical activity in the prevention and treatment of atherosclerotic cardiovascular disease. Arteriosclerosis, Thrombosis, and Vascular Biology.
Umpierre, D., et al. (2011). Physical activity advice only or structured exercise training and association with HbA1c in type 2 diabetes. JAMA.
Wasserman, K., et al. (2012). Principles of Exercise Testing and Interpretation. Lippincott Williams & Wilkins.
Weintraub, P. L. (2003). Caloric restriction and aging. Journal of Gerontology: Biological Sciences.
Zierath, J. R., & Wallberg-Henriksson, H. (2015). Looking ahead perspective: Where will the future of exercise biology take us? Cell Metabolism.
Bauer, M.E., et al. (2012). Chronic stress and immunosenescence: A review. Neuroimmunomodulation, 19(2), 65–73.
Black, P.H., & Garbutt, L.D. (2002). Stress, inflammation and cardiovascular disease. Journal of Psychosomatic Research, 52(1), 1–23.
Calder, P.C., et al. (2017). A consideration of biomarkers to be used for evaluation of inflammation in human nutritional studies. British Journal of Nutrition, 109(S1), S1–S34.
Dhabhar, F.S., & McEwen, B.S. (1997). Acute stress enhances while chronic stress suppresses cell-mediated immunity in vivo. Annals of the New York Academy of Sciences, 840, 359–372.
Done, A.J., & Traustadóttir, T. (2016). Nrf2 mediates exercise-induced antioxidant responses in the aging process. Free Radical Biology and Medicine, 100, 15–22.
Erickson, K.I., et al. (2011). Exercise training increases size of hippocampus and improves memory. PNAS, 108(7), 3017–3022.
Green, D.J., et al. (2004). Vascular adaptation to exercise in humans: role of hemodynamic stimuli. Physiology Reviews, 84(3), 649–674.
Halliwell, B., & Gutteridge, J.M.C. (2015). Free Radicals in Biology and Medicine. Oxford University Press.
Hamer, M., et al. (2012). Physical activity and stress resilience: considering those at risk. British Journal of Sports Medicine, 46(11), 797–798.
Miller, G.E., et al. (2002). Psychological stress and the susceptibility to upper respiratory infections: Role of cytokine expression. Psychosomatic Medicine, 64(4), 675–683.
Morgan, M.J., & Liu, Z.G. (2011). Crosstalk of reactive oxygen species and NF-κB signaling. Cell Research, 21(1), 103–115.
Nieman, D.C., et al. (2011). Upper respiratory tract infection is reduced in physically fit and active adults. British Journal of Sports Medicine, 45(13), 987–992.
Pedersen, B.K., & Febbraio, M.A. (2008). Muscle as an endocrine organ: focus on muscle-derived interleukin-6. Physiological Reviews, 88(4), 1379–1406.
Zierath, J.R., & Wallberg-Henriksson, H. (2015). Looking ahead perspective: Where will the future of exercise biology take us? Cell Metabolism, 22(1), 25–30.