Kearifan Kuliner Nusantara
Pagi ini sahabat saya, Mas Marius Gumono yang amat concern terhadap warisan leluhur Nusantara, memposting sebuah informasi menarik terkait sejarah kuliner Indonesia yang memiliki bukti tertulis, baik dalam naskah kuno, maupun di prasasti. Sejalan dengan itu sayapun beberapa waktu yang lalu pernah membahas tentang sejarah kuliner Sunda, sebagaimana yang terdapat dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Aneka jenis bahan pangan dan cara memasak terdokumentasi dalam naskah kuno peradaban Sunda tersebut.
Saya sendiri dalam berbagai diskusi dan forum tukar pikiran, kerap mengusung gagasan tentang korelasi antara asal-usul maknanan dengan latar belakang manusia atau kelompok manusia yang melahirkannya. Dengan kata lain, tradisi dan budaya kuliner di suatu komunitas masyarakat, amat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan juga karakteristik hayati dari manusia-manusia yang mengolahnya.
Secara logis tentu saja lokasi habitat dengan karakteristik geografi, geologi, geofisika, dan keanekaragaman hayatinya tentulah mempengaruhi jenis makanan sebagai bagian dari proses adaptasi manusia dengan ruang hidupnya. Bahkan pola spesifik tapak genetik seorang manusia yang dalat dikelompokkan dalam konteks haplotipe dan haplogroup dapat menjadi gambaran awal tentang keragaman pola relasi antara manusia dengan lingkungan dan makanannya.
Istilah haplotipe sendiri mengacu kepada serangkaian alel (varian genetik) yang diwariskan bersama dalam satu kromosom. Dalam konteks genetika manusia, kita sering membicarakannya dalam dua aspek utama, yaitu mtDNA (mitochondrial DNA) haplotype yang diwariskan secara maternal (melalui garis ibu), dan Y-chromosome haplotype yang diwariskan secara paternal (melalui garis ayah) bagi laki-laki.
Haplotipe memberikan detail spesifik tentang variasi genetik seseorang atau populasi, sehingga dapat diurut untuk melihat keterkaitan kekerabatan lebih mendalam. Sedangkan Haplogroup adalah kelompok besar (klade) yang mewakili garis keturunan genetik yang memiliki penanda mutasi tertentu, menandakan hubungan evolusi dalam skala lebih luas. Misal, haplogroup mitokondria (mtDNA) dinamai huruf-huruf (seperti M, B, F, R), sedangkan haplogroup kromosom Y lazimnya dinamai huruf (mis. C, D, O, R, dll.) diikuti penanda mutasi spesifik (seperti O-M122).
Haplogroup dan haplotipe sama-sama berfungsi sebagai “penanda genetik” untuk menelusuri asal-usul populasi manusia, jalur migrasi, serta hubungan satu populasi dengan populasi lain.
Karena data soal sejarah kuliner dari Mas Marius Gumono hampir seluruhnya berdasar data dari peradaban terdahulu di Jawa, Saya jadi penasaran, seperti apakah gerangan profil genetika manusia Jawa itu jika diidentifikasi dan dikelompokkan berdasar haplotipe dan haplogrup nya.
Pulau Jawa sendiri adalah salah satu pusat peradaban tertua di Indonesia, memiliki kepadatan penduduk tertinggi dan sejarah panjang interaksi antarbudaya. Dalam perjalanan migrasi manusia di Asia Tenggara dan Oseania, leluhur penduduk Jawa mendapat pengaruh genetis dari beberapa pola migrasi yang terdeteksi melalui beberapa penelitian seperti yang antara lain dilakukan oleh tim Prof Herawati Sudoyo dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (pada masa itu).
Pola migrasi yang terdeteksi itu antara lain adalah migrasi Austronesia (sekitar 4.000–5.000 tahun lalu). Lalu ada pola migrasi Out of Africa yang lebih awal (disertai jalur ke Asia Selatan dan Asia Tenggara). Perkawinan campur yang terjadi sebagai bagian dari konsekuensi adanya perpindahan manusia dari satu lokus ke lokus lainnyapun terjadi.
Salah satu contohnya adalah proses asimilasi antara populasi Austroasiatik, Melanesia, bahkan dipengaruhi pula oleh populasi Tionghoa dan India dalam skala waktu yang lebih modern. Akibatnya, komposisi genetik orang Jawa saat ini kaya akan keanekaragaman haplogroup, baik di sisi maternal (mtDNA) maupun paternal (kromosom Y).
Beberapa penelitian mtDNA pada populasi Jawa menunjukkan dominasi haplogroup yang umum dalam rumpun Austronesia, antara lain Haplogroup M dan subgrupnya. Dimana haplogroup M dianggap salah satu garis keturunan paling awal yang keluar dari Afrika (sekitar 50.000–70.000 tahun lalu). Subklade seperti M7 (misalnya M7c3c) kerap ditemukan di Indonesia, termasuk Jawa. Ini menandakan migrasi kuno yang tersebar luas di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Lalu ada Haplogroup F yang termasuk turunan dari haplogroup R, yang menyebar luas di populasi Asia Tenggara. Subgrup F1 juga lazim ditemukan pada sejumlah populasi di Nusantara, termasuk Jawa dan Bali. Kemudian ada Haplogroup B yang sangat khas pada populasi Austronesia. Dapat dikenali oleh mutasi 9-bp deletion di area kontrol mtDNA. Subgrup B4a banyak ditemukan pada populasi Austronesia (misalnya di Filipina, Taiwan, Indonesia timur, hingga Pasifik).
Berikutnya ada Haplogroup E yang tergolong jarang, namun pernah dilaporkan muncul di sejumlah populasi di Indonesia Timur. Kadang-kadang juga ditemukan dalam jumlah kecil di Jawa, menunjukkan jalur migrasi atau kontak historis dengan wilayah Indonesia bagian timur.
Secara umum, mtDNA orang Jawa menunjukkan pola dominan Austronesia, berpadu dengan garis keturunan Asia daratan (M, F, B) dan sedikit pengaruh lokal yang sangat kuno.
Sedangkan untuk paternal lineage (jalur ayah), penelitian kromosom Y mengungkap bahwa sebagian besar laki-laki di Jawa memliki Haplogroup O. Di mana haplogroup O adalah garis keturunan dominan di Asia Timur dan Asia Tenggara. Terdiri atas sub-haplogroup seperti O-M119, O-M122, dan O-M95. Sementara di Jawa, subgrup yang paling sering ditemukan adalah O-M122 (sering disebut O2 dalam nomenklatur terkini) dan O-M119 (kadang disebut O1). Ini sejalan dengan migrasi penutur Austronesia yang asalnya dari sekitar pantai selatan Tiongkok/Taiwan, lalu menyebar ke Filipina dan Nusantara.
Lalu ada Haplogroup C (misalnya C-M130) yang distribusinya tersebar di Asia dan Oseania, haplogrup ini menunjukkan jejak migrasi paling awal manusia modern di daerah pesisir Asia. Pada populasi Jawa, kemunculannya cenderung lebih kecil dibandingkan haplogroup O, tapi kehadirannya menandakan adanya lapisan genetik yang sangat tua.
Haplogroup berikutnya adalah haplogrup K / K2 yang ditemukan dalam prosentase yang relatif kecil. Hal ini juga berkaitan dengan sebaran manusia modern di Asia Tenggara yang kompleks.
Pola dominan haplogroup O (khususnya O-M122 dan O-M119) menegaskan peran penting migrasi Austronesia. Namun, kehadiran haplogroup C, K, ataupun R (jika ada) menunjukkan adanya interaksi multietnis dan jalur migrasi berulang ke Nusantara. Dimana interaksi terjadi melalui pernikahan antar suku dan kaum migran yang datang dari banyak negeri, baik di timur tengah, Asia Selatan, dan Cina daratan. Akibatnya, haplogroup non-Austronesia dapat masuk ke Jawa. Sebagian mungkin tetap bertahan dalam jumlah kecil (misalnya haplogroup R, J, H yang lebih umum di Eurasia bagian barat).
Di sisi lain faktor lingkungan (penyakit, pola makan, iklim) juga dapat mempengaruhi frekuensi haplogroup tertentu. Misal, adaptasi terhadap malaria di beberapa daerah (walau ini lebih banyak dikaitkan dengan gen autosomal, bukan haplogroup mtDNA/Y-DNA), atau adaptasi metabolisme terhadap pola makan karbohidrat (terkait gen lain seperti AMY1), dsb.
Mengetahui haplogroup populasi Jawa membantu merekonstruksi rute migrasi nenek moyang kita, dan gambaran genetik ini juga dapat memberikan konteks bagi studi nutrigenomik, kesehatan populasi, kerentanan terhadap penyakit, dan respons terhadap obat tertentu.
Selain itu, data genetik juga dapat memperkaya pengetahuan sejarah budaya, menambah wawasan bagaimana suku bangsa Jawa terbentuk lewat perpaduan berbagai leluhur. Dimana suku Jawa sebagai salah satu kelompok etnis terbesar di Indonesia memiliki keragaman dialek, tradisi, serta subkultur. Kajian genetika populasi dapat selaras dengan studi bahasa (linguistik historis) dan antropologi untuk menelusuri hubungan di antara subkelompok Jawa dan suku-suku lain di Nusantara.
Secara ringkas, populasi Jawa didominasi oleh haplogroup O pada jalur ayah (Y-kromosom) yang mencerminkan migrasi Austronesia, sedangkan pada jalur ibu (mtDNA), haplogroup yang dominan antara lain M, B, dan F, juga khas populasi Austronesia dan Asia Tenggara. Meski demikian, ada pula haplogroup-haplogroup lain dalam proporsi kecil sebagai warisan migrasi lebih kuno maupun kontak budaya di kemudian hari.
Kembali kepada unggahan Mas Marius Gumono yang selain pengamat budaya adiluhung Nusantara, juga penghayat ilmu kebathinan yang wasis dan waskita, serta pebisnis handal yang relasinya ada di berbagai penjuru dunia, maka unggahannya itu sedikit banyak membuka mata kita tentang keistimewaan Indonesia.
Dimana Indonesia selain kaya akan keragaman genetik, hayati, dan keberlimpahan sumber daya alam, juga dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan kuliner berlimpah, tercermin dari keberagaman bahan, teknik memasak, serta cita rasa yang bervariasi di setiap daerah. Sejarah panjang kuliner Nusantara dapat ditelusuri melalui sejumlah prasasti kuno era Medang atau Mataram Kuno, mulai dari abad ke-9 hingga ke-10, dan juga naskah-naskah Sunda kuno seperti Sanghyang Siksakandang Karesian serta Sanghyang Swawarcinta. Lewat dokumen-dokumen berusia ratusan tahun inilah kita dapat menggali bagaimana masyarakat Jawa dan Nusantara pada umumnya, mengolah, menyimpan, dan menyajikan makanan.
Selain itu, dalam beberapa dekade terakhir, muncul disiplin ilmu baru bernama nutrigenomik. Kajian nutrigenomik mempelajari hubungan antara makanan, komponen bioaktif di dalamnya, dengan ekspresi gen pada manusia. Melalui perspektif nutrigenomik, kita dapat memahami bagaimana kondisi geografis, iklim, ketersediaan bahan pangan, serta haplotipe (variasi genetik) manusia di berbagai wilayah Nusantara membentuk pola makan yang spesifik dan mempengaruhi kesehatan masyarakat serta kualitas hidup dan keragaman budaya secara turun-temurun.
Dalam Prasasti Mantyasih I, tercatat beragam daging yang umum dikonsumsi, seperti daging kerbau, babi, kambing, kijang, hingga daging yang diasinkan (hañaŋ). Selain itu, sayuran (haraŋ haraŋ) dan telur turut disebutkan. Kehadiran makanan-makanan ini menggambarkan bahwa masyarakat pada masa tersebut sudah mengenal pengolahan daging dalam berbagai varian, termasuk teknik pengasinan untuk memperpanjang masa simpannya.
Prasasti Rukam (907 M) mencatat bahwa pada upacara penetapan sima (wilayah bebas pajak), ada disebutkan jenis makanan seperti nasi paripūrṇna timan (nasi ‘sempurna’), sayur haraŋ haraŋ, serta beragam jenis ikan seperti kakap kering, kadiwas, ḍuri, gurame, hingga dlag (ikan gabus) yang digoreng dengan telur. Di samping itu, daging hañaŋ (daging kering/asin), udang, kepiting, dan hala-hala (hidangan berbahan daging) juga dicatat. Untuk minuman, tersedia tuak, siddhu, dan ciñca. Ragam hidangan ini memperlihatkan betapa pentingnya perairan bagi sumber pangan Nusantara, dengan ikan sebagai salah satu sumber protein pokok.
Prasasti Taji menyebutkan ada 57 karung beras, 6 ekor kerbau, 100 ayam, serta beragam ikan (kaḍiwas, gurame, biluŋluŋ), daging asin kering, dan telur yang disajikan Minuman yang disajikan dalam upacara adat tertentu. Sedangkan minuman meliputi aneka tuak dari jnu, bunga campaga, dan bunga pandan, turut pula disajikan. Hal menarik lainnya adalah keberadaan dendeng (daging kering berbumbu). Selain itu, dalam Prasasti Taji (901–910 M) juga terdapat catatan tentang rurujak (rujak) sebagai salah satu hidangan tradisional sejak masa kuno.
Sedangkan pada Prasasti Linggasuntan (abad ke-10) diabadikan keberadaan urap sayur, yang terdiri dari sayuran rebus yang dicampur parutan kelapa berbumbu. Urap dalam prasasti ini dikategorikan sebagai salah satu hidangan kerajaan. Pengakuan ini menunjukkan bahwa urap merupakan hidangan prestisius dan sudah dikenal luas di lingkungan keraton di zaman itu.
Sementara itu dalam Prasasti Watukura I digambarkan keragaman hidangan yang disebut ambil-ambil, kasyan, let-let, tahulan, ikan wagalan, haryyas, lalapan matang (suṇḍa), rumbah (mirip gado-gado/rujak sayur), hingga tenggiri, cumi-cumi, dan udang. Minuman yang dicatat adalah pāṇa, siddhu, mastawa, kiñca, kilaŋ,
serta tuak. Hal ini menunjukkan teknik mengolah berbagai jenis hasil laut, mulai dari ikan kakap kering hingga cumi-cumi, dan juga berbagai teknik fermentasi sudah lazim dilakukan.
Selain prasasti, beberapa naskah Sunda kuno seperti Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630) dan Sanghyang Swawarcinta (Kropak 626), juga memberikan kita gambaran mendalam mengenai ragam masakan dan teknik memasak di masyarakat Sunda kuno.
Dalam Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630) yang naskahnya diteliti Salah Danasasmita dkk. (1987), menyebutkan berbagai teknik memasak kuno seperti nyupa-nyupir, nyocobék, nyopong konéng, nyayang ku pedes, beubeuleuman, panganggangan, kakasian, rarameusan, diruum diamis-amis, dan lain-lain. Istilah-istilah ini menunjukkan kekayaan terminologi memasak, mulai dari menumis, memanggang, hingga membubuhi rempah pedas.
Sementara penelitian Tien Wartini dkk. (2011) yang menelaah naskah Sanghyang Swawarcinta (Kropak 626), mengungkap cara memasak (pélag olah-olah) berbagai jenis bahan, mulai dari ikan air tawar (hitu, lélé, hurang, kancra, gabus, dll.), ayam, hingga ragam sate;
Ikan paray dikembang lopang (barangkali semacam pepes dengan bumbu tertentu)
Hurang (udang) dikembang dadap
Ikan hitu dipepes gosong
Ikan lele dibumbu cobek
Ikan gabus dipanjel-panjel (dipotong kecil-kecil)
Ikan kancra dilaksa-laksa (barangkali diolah menjadi kuah santan/“laksa”)
Sementara itu, aneka olahan daging ayam pun tertulis di naskah Sanghyang Swawarcinta itu. Idealnya seperti juga gambaran kapal layar bercadik ganda di relief Borobudur yang pernah direkonstruksi, maka asyik juga jika berbagai resep masakan dari masa lalu, dapat direka ulang di masa kini, sebagai bagian dari upaya merekonstruksi terbentuknya budaya kuliner Nusantara, yang tentu terkait erat dengan karakteristik manusia Indoensia secara multi dimensi.
Adapun resep olahan daging ayam dalam naskah kuna, yang baru mendengar nama dan ceritanya saja, saya sudah ngiler berat, antara lain adalah;
Hayam bodas dipadamara
Hayam beureum disarengseng (ditumis/direndang ringan)
Hayam hurik dipais bari
Hayam danten dipepecel_l
Hayam bikang dipapanggang (ayam betina dipanggang), dan masih ada beberapa resep ontetik lain yang telah menjadi bagian dari artefak sejarah.
Dari berbagai catatan di atas, tampak jelas bahwa kuliner Nusantara tidak terlepas dari kondisi geografis serta sosial-budaya masyarakatnya. Beras yang kita kenal sampai hari ini, memang menjadi makanan pokok, sebagaimana yang tercatat dalam berbagai prasasti. Namun, masyarakat Nusantara pendahulu kita juga memanfaatkan jagung, singkong, sagu, dan pisang sebagai sumber karbohidrat alternatif. Hal ini mencerminkan daya adaptasi masyarakat terhadap ketersediaan lahan dan hasil bumi.
Daging dan ikan sering diasinkan atau dikeringkan (hañaŋ, dendeng) untuk keperluan jangka panjang, terutama bagi masyarakat yang tinggal jauh dari pusat perdagangan. Sementara aneka bumbu, baik itu rempah pedas, asam, ataupun manis; sudah digunakan luas sebagai cita rasa khas masakan Nusantara.
Prasasti Rukam (907 M), Taji (910 M), dan Linggasuntan (abad ke-10) memperlihatkan bahwa hidangan istimewa disajikan pada upacara penetapan sima atau perayaan-perayaan kerajaan. Dari sini, terlihat bagaimana tatanan kuliner erat kaitannya dengan aspek spiritual dan sosial pada masa itu.
Kajian nutrigenomik menyoroti bagaimana makanan dan komponen bioaktif di dalamnya mempengaruhi ekspresi gen manusia, serta bagaimana variasi genetik (haplotipe) pada populasi tertentu membentuk preferensi dan metabolisme nutrisi yang khas. Dalam konteks Nusantara, aspek ini sangat relevan karena kondisi geografis dan iklim
Indonesia yang beriklim tropis memiliki keragaman hayati tinggi, dari tanaman pangan hingga jenis ikan/hewani.
Sebagai contoh, masyarakat di daerah pesisir telah lama beradaptasi dengan mengonsumsi ikan laut, sedangkan daerah pegunungan lebih banyak memanfaatkan umbi-umbian dan sayuran dataran tinggi. Dalam perspektif nutrigenomik, asupan protein ikan laut kaya asam lemak omega-3 dapat mempengaruhi ekspresi gen terkait inflamasi dan metabolisme lipid pada populasi pesisir. Sementara populasi di dataran tinggi dengan asupan serat lebih banyak (dari sayuran dan umbi-umbian) dapat mengembangkan profil mikrobiota usus berbeda yang mendukung metabolisme karbohidrat kompleks.
Sejak zaman kuno, masyarakat Nusantara mengonsumsi pangan pengganti beras seperti singkong, sagu, dan jagung. Dalam konteks nutrigenomik, muncul hipotesis bahwa variasi gen tertentu (misalnya gen pengkode enzim pencernaan amilase, AMY1) bisa lebih tinggi frekuensinya pada masyarakat yang secara turun-temurun mengandalkan karbohidrat kompleks seperti singkong. Hal ini memungkinkan mereka mencerna pati dengan efisien, mengoptimalkan penyerapan energi dan menyesuaikan sistem pencernaan.
Teknik seperti pengasinan, pengeringan (dendeng, hañaŋ), hingga fermentasi (semisal pembuatan tape atau olahan beras) tidak hanya membantu pengawetan makanan, namun juga dapat memodifikasi struktur nutrisi sehingga lebih mudah diserap tubuh, atau justru mengurangi kandungan antinutrien. Proses fermentasi misalnya, sering kali meningkatkan ketersediaan vitamin B kompleks. Di sisi lain, gen-gen tertentu yang mengatur sensitivitas terhadap garam atau asupan protein tinggi juga menentukan respon kesehatan populasi tertentu terhadap pola makan tradisional berbasis ikan asin, dendeng, dan sejenisnya.
Secara genetis, preferensi terhadap rasa pahit, manis, maupun pedas dapat dipengaruhi oleh ekspresi gen reseptor rasa (misalnya gen T2R). Masyarakat Nusantara dikenal menyukai cita rasa pedas, asam, dan gurih. Hal ini tidak hanya soal budaya, tetapi juga bisa berkaitan dengan haplotipe gen reseptor rasa yang banyak tersebar di populasi Indonesia. Jika dilihat dari sejarah, pemakaian bumbu dan rempah yang intens juga berperan sebagai antimikroba alami di iklim tropis, sehingga dapat mempengaruhi adaptasi immunologis dan kesehatan masyarakat setempat.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak makanan tradisional tergeser oleh pola makan modern tinggi lemak jenuh dan gula sederhana. Dari perspektif nutrigenomik, perpaduan genetik yang sejak lama beradaptasi dengan makanan lokal tinggi serat/kompleks, kini “terkejut” dan mengalami kondisi gegar nutrisi oleh asupan nutrisi cepat saji. Hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit metabolik seperti diabetes tipe 2 dan hipertensi pada kelompok populasi tertentu.
Maka melestarikan makanan tradisional yang sehat, seperti urap, lalapan, pepes ikan; bukan hanya sekadar melestarikan budaya, akan tetapi juga berpotensi menjadi upaya preventif terhadap penyakit kronis yang turut menentukan kualitas manusia dan populasi bangsa Indonesia.
Tentu selain melestarikan dan memperkenalkan kembali beraneka kearifan tradisi kuliner Nusantara, kita pun perlu menggali lebih dalam berbagai aspek yang dapat mengelaborasi makna korelatif di antara keragaman haplotipe dan haplogrup dengan beraneka jenis bahan pangan, cara mengolah, tradisi kuliner yang menyertainya, serta kandungan nutrisi yang terdapat di dalamnya.
Karena melalui penelitian terintegrasi antara disiplin ilmu arkeologi, antropologi, gizi, teknologi pangan, dan bioteknologi itulah kita baru dapat menguak berbagai keistimewaan manusia Nusantara, alamnya, dan juga berbagai model interaksi dan relasi ideal di antara semua elemen terkait. Maka unggahan Mas Marius Gumono itu memang punya arti sangat penting, karena bisa jadi pemantik untuk kita bersama meneliti dan menemukan bentuk relasi manusia Nusantara dan semestanya yang dapat menghasilkan model relasi konstruktif yang paling ideal.
Dari makanan Nusantara kita kembangkan konsep dwipantara manusia Indonesia, manusia kepulauan dua benua~dua samudera, yang punya banyak potensi istimewa untuk berkontribusi bagi kebaikan dunia.