Mas Nanda, Kanal Thailand, dan Maritime Silk Road
Mungkin ini kesekian kalinya saya menulis tentang Mas Nanda Budi Prayuga, sang petani milenial berlatar IT, yang juga saat ini masih bekerja sebagai salah satu head group di salah satu usaha rintisan minateknologi yang sudah menjadi unicorn dengan skema pembiayaan serie D senilai kurang lebih US$ 200 juta.
Kali ini Mas Nanda menjadi latar dalam dongeng pagi saya, terkait pengalamannya yang belum lama ini mendapat undangan studi banding ke negeri tirai bambu itu. Mas Nanda diundang sebagai representasi kelompok tani milenial jeruk tanpa musim yang aktivitasnya diakui telah banyak berubah karakter dan produktivitas para petani di wilayah kecamatan Ngantang Kabupaten Malang Jawa Timur.
Karena Mas Nanda ini sudah seperti anak atau adik saya sendiri, banyak cerita yang ia sampaikan tentang perjalanannya ke Cina ini. Ceritanya menjadi sangat spesifik, karena ia memang ke negara para Panda itu untuk mempelajari industri agrinya, jadi pasti berbeda dengan pengalaman pribadi saya sendiri yang mungkin akan lebih berfokus pada aspek sejarah, kebudayaan, dan dinamika peradaban, sesuai dengan minat pribadi yang tentu sangat subjektif dan berlatar personal.
Banyak hal yang Mas Nanda sampaikan, dan banyak insight juga yang membuat saya lebih tercerahkan, terutama terkait misteri kebangkitan industri dan bisnis Tiongkok yang kini telah bertiwikrama menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Saat ini Cina merupakan perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Dimana pada tahun 2023, PDB Cina mencakup 16,9% dari total PDB dunia.
Sejak tahun 2013, Cina menjadi negara dengan perdagangan barang terbesar di dunia. Pada tahun 2023, total perdagangan barang Cina mencapai 5,9 triliun dolar AS, mencakup 12,4% dari pangsa pasar global, dan secara konsisten menduduki peringkat pertama di dunia selama tujuh tahun berturut-turut.
Dari tahun 1979 hingga 2023, kontribusi tahunan rerata Cina terhadap pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 24,8%, dan itu menempati peringkat kontributor ekonomi pertama di dunia.
Sepanjang tahun 2021, ekonomi Cina tumbuh sebesar 8,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2023, pertumbuhan ekonomi Cina diperkirakan mencapai 5,1%, meningkat dari 3% pada tahun 2022.
Produk Domestik Bruto (PDB) Cina pada tahun 2023, mencapai 17.794,78 miliar dolar AS, yang mewakili 16,88% dari total nilai ekonomi dunia, sebagaimana yang telah kita ulas sedikit di atas.
Salah satu instrumen yang diduga berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi Cina yang sangat signifikan dalam 3 dasawarsa terakhir, adalah program riset dan pengembangannya (R&D) yang mendapat perhatian khusus, berupa berbagai insentif dalam bentuk peraturan maupun pendanaan. Cina telah meningkatkan investasinya dalam penelitian dan pengembangan, dengan belanja R&D mencapai 2,44% dari PDB pada tahun 2021, meningkat 2,7 kali lipat dari tahun 2012.
Pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat telah memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian global. Salah satu contoh kongkret pengaruh Cina di tatanan perekonomian global; sebagai konsumen utama berbagai komoditas, perubahan dalam ekonomi Cina dapat mempengaruhi harga dan permintaan global.
Karena alasan yang sama pula, Cina dapat memainkan peran kunci dalam rantai pasokan global, terutama dalam sektor manufaktur dan teknologi. Dengan cadangan devisa yang besar, Cina telah menjadi investor utama di berbagai negara, khususnya dalam proyek infrastruktur melalui inisiatif Belt and Road. Di Indonesia, investasi Cina tersebar di berbagai sektor, dari hulu ke hilir, misal; kereta cepat Jakarta-Bandung (KCIC), kereta komuter Jabodetabek, industri pengolahan nikel untuk baterai, dan di banyak sektor lainnya.
Di program kereta cepat misalnya, pada tahap perencanaan, total investasi proyek ini diprakirakan sekitar US$5,8 miliar atau setara dengan Rp84,3 triliun, dengan masa konsesi selama 50 tahun. Dimana seiring berjalannya waktu, proyek ini mengalami berbagai penyesuaian biaya, mungkin sekitar US$1,2 miliar (sekitar Rp18,36 triliun), sehingga total investasinya meningkat menjadi sekitar US$7,2 miliar (sekitar Rp110,16 triliun).
Sebagian besar dana proyek ini, yaitu 75%, diperoleh melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB), sementara sisanya berasal dari ekuitas para pemegang saham. Pinjaman dari CDB memiliki tingkat bunga sekitar 2% per tahun. Kepemilikan dan operasionalisasi dari kereta cepat ini dipegang oleh sebuah konsorsium dengan proporsi 60% untuk konsorsium nasional, dan 40% konsorsium investor Cina.
Program ini punya peran yang sangat signifikan dalam hal akselerasi pertumbuhan ekonomi kawasan melalui unsur pemantik berupa infrastruktur transportasi yang diharapkan dapat menimbulkan multiplier effect yang berkelanjutan, hingga tentu saja nilainya tidak sekedar dapat dihitung dari kapital dan ekuitas kuantitatif, melainkan juga ada nilai-nilai yang bersifat intangible. Termasuk peningkatan kapasitas melalui proses transfer knowledge dan teknologi.
Tak dapat dipungkiri bahwa Cina telah mengalami transformasi luar biasa dari negara agraris menjadi raksasa industri teknologi dalam beberapa dekade terakhir. Perjalanan ini ditandai oleh serangkaian reformasi, kebijakan strategis, dan investasi besar-besaran dalam penelitian dan pengembangan (R&D).
Sebelum reformasi ekonomi, sejalan dengan reformasi menyeluruh di berbagai bidang sejak tahun 1978, Cina memiliki ekonomi terpusat dengan fokus pada industri berat dan manufaktur dasar. Teknologi canggih belum menjadi prioritas, dan negara ini tertinggal dalam inovasi teknologi.
Di periode 1978 – 1990 an, di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, Cina membuka diri terhadap investasi asing dan memperkenalkan mekanisme pasar. Zona Ekonomi Khusus (SEZ) seperti Shenzhen didirikan, mendorong pertumbuhan industri manufaktur dan adopsi teknologi asing.
Sejak saat itu Cina mulai berinvestasi dalam R&D dan meningkatkan kapasitas teknologinya. Menurut data Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi Cina, skala total industri kecerdasan artifisial/akal imitasi (AI) mencapai sekitar 500 miliar yuan (sekitar 70,37 miliar dolar AS) pada tahun 2023, dengan jumlah perusahaan terkait menembus 4.400. Dengan total valuasi dari bisnis industri cerdas berbasis AI ini yang diprakirakan akan terus bertumbuh seiring dengan penetrasi teknologi yang telah berubah menjadi penentu trend setter dunia. Teknologi kini dapat memandu (mendikte) arah perkembangan peradaban, sampai memvektorisasi koordinat pasar yang menjadi tujuan.
Sejak tahun 2010an Cina telah menjadi pemimpin global dalam berbagai teknologi canggih, termasuk 5G, AI, dan kendaraan listrik. Belanja Cina di bidang R&D mencapai 2,44% dari PDB pada tahun 2021, meningkat 2,7 kali lipat dari tahun 2012 .
Upaya yang dilakukan Cina, memang tidak main-main dan memiliki konsep yang jelas, dengan ciri: sistematik dan terukur. Pemerintah Cina telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan industri teknologi seperti program nasional Made in China 2025 yang diluncurkan pada tahun 2015. Inisiatif ini bertujuan untuk menjadikan Cina sebagai pemimpin dalam manufaktur canggih, dengan fokus pada sektor seperti robotika, bioteknologi, dan kendaraan energi baru.
Hal ini secara kongkret diwujudkan dalam bentuk peningkatan signifikan dalam belanja R&D yang menunjukkan komitmen pemerintah terhadap inovasi. Pada tahun 2021, belanja R&D mencapai 2,44% dari PDB, sedangkan pada 2023 belanja R&D telah mencapai 2,5% dari PDB, dengan peningkatan signifikan dalam alokasi anggaran untuk penelitian dasar .
Pemerintah Tiongkok juga menetapkan kebijakan proteksi dan dukungan atau keberpihakan pada industri domestik. Pemerintah memberikan subsidi dan insentif pajak kepada perusahaan teknologi domestik, serta membatasi ekspor sumber daya strategis seperti logam tanah jarang (LTJ) untuk mendukung industri dalam negeri .
Melalui berbagai inisiatif, pemerintah Cina juga mendorong kewirausahaan dan inovasi, serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan startup atau perusahaan rintisan teknologi.
Dengan rantai pasok yang terintegrasi dan tenaga kerja terampil, Cina mampu memproduksi barang teknologi dengan biaya yang kompetitif. Perusahaan seperti Huawei, BYD, dan DJI telah menjadi pemimpin global dalam bidangnya masing-masing, menunjukkan kemampuan inovatif Cina. Pasar domestik yang besarpun bagi Cina adalah salah satu element of strength, karena dengan populasi lebih dari 1,4 miliar, Cina menyediakan basis konsumen yang luas untuk pengujian dan adopsi teknologi baru.
Tak berhenti hanya sampai di situ saja, Cina telah mempersiapkan dengan matang berbagau sistem pendukung yang diperlukan agar dapat menjadi negara raksasa teknologi di masa depan. Cina melakukan program yang sangat masif dalam implementasi jaringan 5G dan membangun sistem pembayaran digital yang ekstensif melalui platform seperti Alipay dan WeChat Pay.
Dari aspek sosiotekkultural, teknologi juga telah dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen yang digunakan dalam tata kelola kehidupan kemasyarakatan sebagaimana yang dapat kita lihat pada Social Credit System (SCS). Dimana sistem ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih tertib, meningkatkan kepercayaan publik, dan memperkuat etika dalam berbagai aspek kehidupan. Konsep SCS pertama kali diperkenalkan pada tahun 2014 melalui dokumen resmi pemerintah Cina yang berjudul “Planning Outline for the Construction of a Social Credit System (2014-2020).”
Dimana tujuan utamanya adalah membangun sistem kepercayaan sosial yang kuat, meningkatkan integritas dalam interaksi sosial, bisnis, dan pemerintah, serta mengurangi pelanggaran hukum dan perilaku tidak etis di masyarakat. SCS mengumpulkan data perilaku individu, perusahaan, dan entitas lainnya dari berbagai sumber seperti catatan keuangan, pelanggaran hukum, dan aktivitas digital.
Data ini digunakan untuk memberikan skor kredit sosial yang mencerminkan tingkat kepercayaan dan kepatuhan seseorang atau entitas. Hal-hal yang dapat menjadi indikator dalam proses penilaian, antara lain; ketaatan dalam berlalu lintas, etika di area publik, ketaatan membayar pajak, sampai pada kepatuhan membayar angsuran kredit.
Untuk itu tentu diperlukan upaya seperti standarisasi struktur data untuk mendukung pengolahan mahadata (big data) yang mampu mengumpulkan data secara sistematis dan lintas sistem dalam konteks layanan publik. Diperlukan juga penerapan AI dalam mengolah dan menganalisa berbagai data personal dan korporasi, terutama dalah hal penilaian dan pemberian insentif dan sangsi.
Social Credit System di Cina merupakan pendekatan inovatif yang menggabungkan teknologi canggih dengan tata kelola sosial. Meskipun menawarkan manfaat dalam hal keteraturan dan kepercayaan, sistem ini juga menghadirkan tantangan besar terkait hak privasi dan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Implementasi yang transparan dan adil menjadi kunci keberhasilan sistem ini dalam jangka panjang.
Oleh-oleh Mas Nanda tak hanya itu saja, ia juga bercerita tentang betapa penerapan konsep smart cities yang juga tengah menjadi trending topic di Indonesia, sudah semakin masif dilakukan di Cina. Sebagai contoh yang beliau lihat adalah di salah satu kota yang dikunjunginya; Chongqing.
Kota ini termasuk salah satu kota utama di Cina yang juga masuk dalam whishlist saya. Karena saya kerap terkagum-kagum melihat tayangan tentang kota itu dari tayangan atau konten beberapa You Tuber traveler. Kesan saya dari menonton berbagai tayangan itu adalah, Chongqing sangat canggih.
Dalam kenyataannya Chongqing, sebuah kota megalopolis di barat daya Tiongkok, memang telah mengalami transformasi luar biasa dari sebuah kota kecil sederhana menjadi kota futuristik yang memadukan teknologi canggih dengan warisan budaya yang kaya.
Terletak di tepi Sungai Yangtze, Chongqing dikenal dengan topografinya yang berbukit dan kompleks. Kota ini mencakup area seluas 82.403 km² dan memiliki populasi lebih dari 32 juta jiwa, menjadikannya salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Sebagai salah satu dari 4 munisipalitas yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat Tiongkok, Chongqing memiliki otonomi administratif yang signifikan. Pemerintah kota fokus pada pembangunan infrastruktur, pengembangan ekonomi, dan peningkatan kualitas hidup warganya melalui berbagai inisiatif modernisasi dan urbanisasi.
Chongqing telah berkembang menjadi pusat industri dan komersial utama di Tiongkok barat daya. Sektor-sektor kunci yang mendorong perekonomian kota meliputi sektor manufaktur, teknologi informasi, logistik, dan sektor transportasi.
Kota ini telah bermetamorfosa menjadi pusat produksi kendaraan bermotor dan elektronik, dengan banyak perusahaan multinasional mendirikan pabrik di sini. Chongqing juga berinvestasi besar dalam pengembangan industri teknologi tinggi, termasuk perangkat lunak dan layanan digital. Selain itu lokasinya yang strategis menjadikan Chongqing sebagai hub logistik penting, menghubungkan wilayah barat Tiongkok dengan pasar internasional melalui Sungai Yangtze.
Untuk mendukung semua rencana besar yang telah disusun secara visioner dengan sangat cermat dan sistematis, Chongqing telah mengadopsi konsep kota cerdas (smart city) dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi layanan publik dan kualitas hidup warganya. Beberapa inisiatif utama dalam kontek kota cerdas meliputi pendirian Pusat Operasi dan Manajemen Kota Cerdas. Di mana pusat ini mengintegrasikan berbagai platform dan memungkinkan manajemen kolaboratif antar departemen melalui analisis data. Misalnya, jika terjadi masalah di lingkungan tertentu, petugas dapat melaporkannya melalui terminal pintar, dan masalah tersebut akan segera ditangani oleh departemen terkait.
Sistem transportasi umum, seperti Chongqing Rail Transit, telah menerapkan layanan kereta ekspres yang dapat melintasi beberapa jalur berkat sistem interkoneksi yang canggih. Selain itu, pengembangan kendaraan otonom juga menjadi fokus dalam meningkatkan mobilitas perkotaan. Melalui acara seperti Smart China Expo, Chongqing telah menandatangani berbagai proyek yang bertujuan untuk memajukan konsep kota cerdas dan mendorong pertumbuhannya sebagai pusat manufaktur cerdas. Pada tahun 2022, sebanyak 54 proyek senilai satu miliar yuan ditandatangani, dengan 80% di antaranya berada dalam industri strategis yang baru muncul.
Kota ini juga telah mengimplementasikan berbagai layanan publik berbasis digital, seperti aplikasi untuk pembayaran transportasi, pengelolaan energi, dan pemantauan lalu lintas, yang memudahkan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Melalui kombinasi antara perencanaan kota yang cermat, investasi dalam teknologi, dan komitmen terhadap keberlanjutan, Chongqing telah berhasil bertransformasi menjadi kota futuristik yang menjadi model bagi pengembangan kota cerdas di seluruh dunia.
Sementara itu sejalan dengan insight yang disampaikan sebagai buah tangan perjalanan Mas Nanda ke negeri Cina, saya juga mendapat beberapa cerita seru dari mentor saya, Kang Khemal Andrias yang baru saja melancong ke negeri Gajah Putih atau Thailand.
Ceritanya memang bukan soal agroteknologi sebagaimana yang menjadi spesialisasi Mas Nanda, melainkan lebih kepada kisah yang berkembang dari berbagai isu kemasyarakatan yang tengah hangat di sana. Maklumlah, Pak Khemal basic nya adalah sarjana Antropologi.
Menariknya, salah satu cerita yang menjadi oleh-olehnya masih terkait erat dengan oleh-oleh Mas Nanda soal kemajuan pesat Cina dalam bidang industri teknologi dan manufaktur. Tak dapat dipungkiri sebagai raksasa ekonomi, tentulah nilai ekspor dan produksi Cina sangatlah besar dari segi kuantitas. Sebagai gambaran, total nilai ekspor Cina per-Oktober 2024 mencapai USD 309,06 miliar, meningkat dari USD 303,71 miliar pada September 2024.
Cina mengekspor berbagai produk ke seluruh dunia, dengan beberapa kategori seperti elektronik dan mesin, termasuk komputer, ponsel, dan peralatan telekomunikasi. Cina juga adalah produsen utama pakaian jadi dan tekstil, mainan dan barang konsumsi (consumer goods), seperti mainan anak-anak, peralatan rumah tangga, dan produk plastik. Cina memproduksi dan mengekspor peralatan medis dan produk farmasi. Termasuk masker, alat pelindung diri, dan obat-obatan.
Cina mengekspor produknya ke berbagai negara, dengan beberapa negara tujuan utama seperti Amerika Serikat yang merupakan salah satu mitra dagang terbesar Cina. USA menerima berbagai produk Cina mulai dari elektronik hingga barang konsumsi.
Demikian pula negara-negara Uni Eropa seperti Jerman, Belanda, dan Inggris juga merupakan pasar utama bagi produk Cina. Jepang dan Korea Selatan sebagai tetangga regional, juga mengimpor berbagai produk manufaktur dari Cina. Dan tentu saja negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang sejak 2-3 dasawarsa terakhir telah menjadi tujuan ekspor utama yang punya peran signifikan bagi ekonomi Cina.
Sehubungan dengan itulah, isu lokal masyarakat Siam yang terdengar santer di telinga antropolog handal kita, Bapak Khemal, menyeruak hampir di setiap perbincangan di warung kopi, mulai dari Bangkok sampai ke daerah-daerah wisata seperti Phuket. Kanal Thailand.
Rencana pembangunan Kanal Thailand di wilayah sempit Isthmus Kra, Thailand selatan, menjanjikan perubahan besar bagi peta perdagangan dunia. Proyek ambisius ini bertujuan menghubungkan Laut Andaman (Samudra Hindia) dengan Teluk Thailand (Samudra Pasifik), sekaligus menawarkan jalur alternatif yang lebih cepat daripada Selat Malaka. Dengan panjang sekitar 100-120 km, kanal ini diharapkan menjadi infrastruktur strategis yang mengubah konstelasi ekonomi Asia Tenggara dan dunia. Yang tentu saja hal ini akan berhubungan erat dengan perekonomian Cina dan penetrasinya di level global, bayangkan adanya jalan pintas dari Laut China Selatan melalui Teluk Thailand tembus ke laut Andaman dan sambung ke Laut Merah dan masuk ke Terusan Suez lalu tembus ke Eropa melalui pilar Heracles.
Mari kita bayangkan, berangkat dari kasus tersumbatnya Terusan Suez oleh kapal kargo Evergreen yang mengakibatkan kerugian 5,7 triliun rupiah perjamnya, kita dapat menilai berapa besar efisiensi biaya logistik yang dapat dilakukan oleh Cina, dan seberapa besar dampak penurunan biaya logistik pada harga jual produk-produk Cina di pasar Timur Tengah, Afrika, Mediterania, dan Uni Eropa?
Produk Cina akan semakin kompetitif dan hampir dapat dipastikan akan dapat mempertahankan supremasinya di pasaran dunia yang telah diraihnya saat ini. Hanya saja dengan margin keuntungan yang akan jauh lebih besar dan kondisi itu akan mendorong terjadinya akselerasi optimasi teknologi dan industri, karena akan mempengaruhi PDB, dimana 2,5% nya akan menjadi penggerak riset dan pengembangan. Bayangkan!
Terusan Thailand ini direncanakan akan melintasi wilayah hutan tropis dengan hutan bakau dan area rawa gambut di pesisir. Topografi Isthmus Kra terdiri dari dataran rendah di pesisir barat dan timur, sementara bagian tengahnya terdapat bukit-bukit. Secara geografis, kanal ini akan memangkas jalur pelayaran hingga 1.200 km dan waktu tempuh sekitar 2-3 hari dibandingkan melewati Selat Malaka, menjadikannya jalur efisien untuk perdagangan global.
Efisiensi logistik yang ditawarkan Kanal Thailand berpotensi menghemat biaya pengangkutan barang lintas benua. Thailand diproyeksikan dapat meraup pendapatan hingga USD 5-8 miliar per tahun dari tarif kanal dan aktivitas pelabuhan. Proyek ini juga membuka lapangan kerja besar-besaran, baik saat konstruksi maupun operasional. Bagi ASEAN, kanal ini menghadirkan peluang sekaligus tantangan, terutama bagi negara seperti Singapura, yang bergantung pada Selat Malaka sebagai pusat logistik utama.
Mari kita bayangkan apa pengaruh kehadiran kanal ini bagi negara jasa maritim seperti Singapura. Pelabuhan Samudera Singapura memiliki empat terminal utama; Tanjong Pagar, Keppel, Pasir Panjang, dan Brani, yang dilengkapi dengan teknologi modern seperti crane otomatis dan sistem penyimpanan kontainer yang efisien.
Aktivitas pelabuhan yang intensif berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Singapura. Pada kuartal ketiga tahun 2024, Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura meningkat sebesar 3,20% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Hal tersebut ditandai antara lain dengan impresi kinerja pelabuhan yang pada tahun 2022, throughput kontainernya saja mencapai 37,289,600 TEU (Twenty-Foot Equivalent Units). Memang sedikit menurun dari 37,571,200 TEU pada tahun 2021, tampaknya kondisi ini berlaku jamak sehubungan dengan tail effect pandemi Covid.
Mendengar cerita dan mendapat data-data ini, saya jadi teringat Teh Ila, salah seorang penerima beasiswa LPDP yang berkesempatan melanjutkan studi S3 nya di salah satu perguruan tinggi tua terkemuka di Britania Raya, dimana beliau ingin mengembangkan model matematika untuk memprediksi berbagai faktor pengaruh beserta tingkat signifikansinya pada suatu kondisi wabah penyakit demam berdarah dengue.
Kurang lebih begitulah konsep awal proposal risetnya yang sempat didiskusikan dengan saya dan Kang Rizal, PhD student di Griffith University. Terlepas dari riset yang kini dilakukannya di bawah supervisi pembimbingnya, bagi saya model matematika prediktifnya tetaplah merupakan topik yang menarik.
Wa bil khusus pada saat kita bicara soal Kanal Thailand, ada pertanyaan yang menggelitik seperti; Apa dampaknya bagi ekonomi kawasan? Apa dampaknya bagi ekonomi Cina yang secara geografis diuntungkan? Apa dampaknya bagi psikologi konsumen global? Apa dampaknya bagi eksploitasi sumber daya alam dan bahan baku lainnya? Apa dampaknya bagi konstelasi geopolitik dunia? Apa keuntungan yang dapat diraih oleh negara terdampak seperti Kamboja, Vietnam, Cina, Filipina, Taiwan, dan bahkan Jepang? Dan banyak pertanyaan kritis lainnya. Menarik bukan?
Dalam konteks matematika, memahami dampak kanal ini secara holistik memerlukan model matematika yang kompleks. Pendekatan Computable General Equilibrium (CGE) dapat digunakan untuk memprediksi dinamika ekonomi berdasarkan hubungan antar sektor di ranah ekonomi maritim dan perdagangan global ini. Untuk itu dapat kita coba rumuskan sebagai berikut;
Komponen Model:
1. Fungsi Produksi: Y = f(K, L, T, Z)
Di mana:
K: Modal (investasi infrastruktur kanal)
L: Tenaga kerja
T: Teknologi
Z: Faktor eksternal seperti kebijakan tarif.
2. Model Perdagangan:
Xij = Tij × (GDPi × GDPj)^β / Dij^γ
Di mana:
Xij: Volume perdagangan antara negara i dan j
Tij: Tarif perdagangan
GDPi, GDPj: PDB masing-masing negara
Dij: Jarak perdagangan (diubah dengan adanya kanal).
3. Perubahan PDB:
ΔGDP = α × (Efisiensi Logistik + Investasi Infrastruktur – Biaya Lingkungan)
Di mana:
ΔGDP: Perubahan Produk Domestik Bruto
α: Faktor pengali dampak ekonomi.
Sementara simulasi dinamika sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan time-series forecasting untuk melihat perubahan PDB negara ASEAN selama 10-20 tahun setelah kanal beroperasi. Dimana dapat dilakukan pula simulasi kombinasi dengan Agent-Based Modeling (ABM) untuk memahami perilaku negara-negara pengguna kanal dalam menyesuaikan kebijakan logistik mereka.
Jika kita menggunakan pendekatan ekonometrik~matematis dalam konteks logistik saja, maka diprakirakan keberadaan Kanal Thailand akan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi Cina. Cina memiliki hubungan perdagangan yang kuat dengan tiga wilayah utama, yaitu Eropa, Afrika, dan Timur Tengah. Berdasarkan data, nilai ekspor tahunan Cina ke masing-masing wilayah tersebut mencapai USD 650 miliar ke Eropa, USD 150 miliar ke Afrika, dan USD 300 miliar ke Timur Tengah. Saat ini, biaya logistik yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pasar di wilayah ini bervariasi, dengan rata-rata 12% dari nilai ekspor untuk Eropa, 15% untuk Afrika, dan 10% untuk Timur Tengah.
Dengan adanya Kanal Thailand, diperkirakan terjadi penghematan signifikan dalam biaya logistik. Prosentase pengurangan biaya logistik untuk setiap wilayah adalah 25% untuk Eropa, 30% untuk Afrika, dan 20% untuk Timur Tengah. Berdasarkan perhitungan, potensi penghematan dari biaya logistik mencapai USD 19,5 miliar di Eropa, USD 6,75 miliar di Afrika, dan USD 6 miliar di Timur Tengah setiap tahun.
Secara total, Kanal Thailand dapat memberikan penghematan logistik sebesar USD 32,25 miliar setiap tahunnya. Penghematan ini menjadi salah satu keuntungan strategis bagi Cina untuk meningkatkan daya saing perdagangan globalnya, mengurangi biaya transportasi, dan meningkatkan margin keuntungan dari ekspor ke wilayah-wilayah utama tersebut. Serta tentu saja ini sejalan dengan visi Maritime Silk Road mereka.
Lalu bagaimana dengan kita ?
Daftar Pustaka
1. Antara News. (2023). China Lampaui Pertumbuhan Ekonomi Dunia Sejak 1979 hingga 2023. Diakses dari: https://www.antaranews.com/berita/4371255/china-lampaui-pertumbuhan-ekonomi-dunia-sejak-1979-hingga-2023
2. Antara News. (2023). Sektor IPTEK China Catat Perubahan Historis dalam Satu Dekade. Diakses dari: https://www.antaranews.com/berita/2877253/sektor-iptek-china-catat-perubahan-historis-dalam-satu-dekade
3. Bisnis.com. (2023). Telan Investasi Rp110 Triliun, Kereta Cepat Whoosh Balik Modal 40 Tahun. Diakses dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20231003/98/1700575/telan-investasi-rp110-triliun-kereta-cepat-whoosh-balik-modal-40-tahun
4. CEIC Data. (2023). Singapore Container Port Throughput. Diakses dari: https://www.ceicdata.com/id/indicator/singapore/container-port-throughput
5. Economy Okezone. (2022). Nilai Proyek Investasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung Rp84,3 Triliun dengan Masa Konsesi 50 Tahun. Diakses dari: https://economy.okezone.com/read/2022/02/07/320/2543557/nilai-proyek-investasi-kereta-cepat-jakarta-bandung-rp84-3-triliun-dengan-masa-konsesi-50-tahun
6. FutureCIO. (2022). Chongqing Inks a Slew of Smart City Projects. Diakses dari: https://futurecio.tech/chongqing-inks-a-slew-of-smart-city-projects
7. iChongqing. (2022). Living in a Smart City SCE2022. Diakses dari: https://www.ichongqing.info/2022/08/15/living-in-a-smart-city-sce2022
8. Kumparan. (2023). Kegiatan Perekonomian Singapura yang Utama. Diakses dari: https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/kegiatan-perekonomian-singapura-yang-utama-2391BhOttpL
9. Trading Economics. (2024). China GDP. Diakses dari: https://id.tradingeconomics.com/china/gdp
10. Trading Economics. (2024). Singapore GDP Growth. Diakses dari: https://id.tradingeconomics.com/singapore/gdp-growth
11. World Bank. (2023). East Asia and Pacific Regional Growth to Accelerate as China Rebounds. Diakses dari: https://www.worldbank.org/in/news/press-release/2023/03/30/east-asia-and-pacific-regional-growth-to-accelerate-as-china-rebounds
12. Wikipedia. (2023). Chongqing. Diakses dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Chongqing