Tauhid Nur Azhar

KOKOREC

Pada suatu malam di musim dingin di gang sempit berlantai cobble stone tepat di kaki bukit di mana berdiri megah istana Topkapi, istana yang dalam bahasa Turkinya biasa disebut secara lengkap sebagai Topkapı Sarayı atau dalam bahasa Turki Utsmaniyah beraksara hijaiyah nya; طوپقپو سرايى, saya menemukan warung kecil dengan hidangan nan unik: kokorec. Topkapi sendiri adalah istana di Istanbul, Turki, yang merupakan kediaman resmi Sultan Utsmaniyah selama lebih dari 600 tahun (1465-1856).

Pembangunan istana ini dimulai pada tahun 1459 atas perintah Sultan Mehmed II. Kompleks istana terdiri dari 4 area utama dan terdiri dari banyak bangunan-bangunan yang tersebar di setiap sudutnya. Pada masa jayanya, istana ini dapat dihuni sampai lebih dari 4.000 orang. Selain sebagai tempat tinggal resmi keluarga kerajaan, istana Topkapi digunakan untuk acara-acara kenegaraan dan event-event kerajaan.

Saat ini Topkapi menjadi museum dan pusat wisata edukasi yang berisi peninggalan dan artefak penting dari peradaban dunia Islam, termasuk pedang dan jubah Nabi Muhammad SAW.

Kejayaan Istana Topkapi memudar pada akhir abad ke-18 karena sultan lebih suka menghabiskan waktu di istana baru mereka di Bosporus. Pada tahun 1856, Sultan Abd-ul-Mejid I secara resmi memindahkan kediamannya ke Istana Dolmabahçe.

Sedangkan Kokorec adalah sejenis makanan super duper gurih dan lezat, terlebih kalau dimakan di malam hari musim dingin Selat Bosphorus yang suhunya dapat menembus sumsum tulang. Tapi mohon maaf, sebelum saya bercerita lebih jauh soal kokorec ini, izinkan saya sedikit bernostalgia soal makanan Balkan, Asia Tengah, dan area fertile crescent yang tidak disengaja saya jumpai di kawasan paling elit dan menjadi episentrum peradaban kota yang dikenal sebagai The Big Apple alias New York City, Times Square.

Alkisah pada tahun 2011 saya selaku official mentor dari tim pemenang Microsoft Student Imagine Cup diundang langsung oleh Pak Bill Gates untuk bergabung dengan aktivitas kompetisi Imagine di tingkat global. Pada saat itu representative/liaison dari Microsoft Indonesia adalah sahabat saya Pak Julius Fenata.

Kami dijamu oleh Microsoft dengan sangat luar biasa, sebagai contoh akomodasi dipilihkan hotel bintang 5+ JW Marriott yang berlokasi di jantung Times Square yang dikelilingi oleh teater musikal Broadway. Teater terdekat yang begitu menggoda saya adalah teater yang mempersembahkan pertunjukan musikal Lion King, kalau saja tiketnya tidak terlalu mahal pastilah saya sudah menontonnya. Tapi karena mahal, sudah cukup puaslah saya berfoto di depan posternya.

Singkat cerita di tengah berbagai kesibukan kompetisi seperti presentasi tim di depan dewan juri, show case hasil inovasi, da berbagai kelas mandatory yang harus saya ikuti sebagai mentor atau pelatih resmi tim Microsoft, ada waktu-waktu luang yang saya optimalkan untuk menjelajahi berbagai sudut NY.

Ada kecemasan dan kekhawatiran tersembunyi di hati saya, mengingat tepat 1 dasawarsa sebelumnya telah terjadi peristiwa luar biasa menyedihkan yang dikenal sebagai 9/11. Saat itu saya pun sebagai penerima beasiswa World Bank sempat terdampak, proses studi doktoral di US akhirnya harus dipindahkan ke salah satu negara di Asia Tenggara.

Tapi ternyata kekhawatiran saya tidak beralasan, suasana damai dan toleransi antar ummat manusia yang berbeda latar belakang dan keyakinan sudah tumbuh subur kembali dan diwarnai dengan berbagai interaksi yang menyejukkan. Tak ada sisa kemarahan ataupun kebencian, tampaknya Ground Zero telah berhasil menjadi monumen yang merekatkan kembali keping-keping kesadaran manusia akan hakikatnya yang semestinya penuh dengan kehangatan kasih sayang dan semangat untuk saling mengayomi, persis sebagaimana pepatah Sunda; saling asah, asih, dan asuh.

Walhasil dengan berbekal kartu 7 Day Pass New York MTA atau yang lebih dikenal sebagai MTA Card New York, sayapun menikmati sensasi berkelana dari stasiun Metro satu ke stasiun Metro lainnya. Tak kurang daerah yang kerap dicap sebagai daerah rawan seperti Bronx pun saya kunjungi. Belakangan, sahabat saya Julius dari Microsoft pun ikut-ikutan ngebolang dengan menggunakan subway.

Nah inti cerita kita mulai dari sini, saat sepulang dari menjelajah ke berbagai arah, saya yang turun di 42nd Street Station, berjalan santai ke arah Marriott. Karena saya lelah dan lapar, maka indera penciuman saya tampaknya menjadi jauh lebih sensitif. Dari kejauhan saya sudah mencium aroma nan lezat yang membuat air liur saya tak berhenti menetes. Dengan mengendus-endus sayapun seperti seekor sapi yang tercocok hidungnya, berjalan ala zombie ke arah sumber bau. Itulah kekuatan nervus olfaktori rupanya.

Tak berapa lama sayapun tiba di sebuah kedai yang berwujud van penjual makanan. Ada tulisan shish kebab di atasnya. Shish kebab sendiri adalah terjemahan bahasa Inggris dari bahasa Turki, şiş yang berarti pedang. Jadi secara harafiah, shish kebab adalah daging yang ditusuk pedang atau tusuk sate mungkin tepatnya ya. Menurut Oxford English Dictionary, publikasi pertama tentang shish kebab sebagai idiom dalam bahasa Inggris adalah dalam novel Our Mr. Wrenn karya Sinclair Lewis yang terbit pada tahun 1914.

Lalu bedanya shish kebab dengan jenis kebab lainnya seperti Donner dan kawan-kawan itu kira-kira apa ya ? Rupanya selain cara memasak yang dipanggang seperti sate pada umumnya di Indonesia, Ada perbedaan pula pada komposisi bumbunya. Bumbu utama seperti garam, gula, paprika, merica, bubuk bawang putih, dan bubuk bawang bombay merupakan bumbu yang jamak digunakan untuk memasak kebab Doner dan Shish, tetapi untuk Shish kebab, digunakan kunyit dan kayu manis yang menguatkan rasa manis dan after taste sedikit pahit. Sedangkan Doner menggunakan daun time, oregano, dan marjoram untik membantu mencapai rasa autentik yang menjadi ciri khasnya.

Tapi bagi saya yang sore itu kelaparan dan kedinginan, shish kebab yang dijual di tepi jalan itu, dan belakangan saya baru tahu bahwa mereka kelak menjadi brand Moslem food global, Halal Guys rasanya ya gurih, empuk, dan bumbunya sesuai dengan selera lidah Melayu saya.

Saat melahap shish kebab dengan setumpuk nasi Briyani hangat yang mengepul-ngepul di tengah cuaca sore NY yang terasa semakin dingin, saya justru teringat kenikmatan makan sate buntel Bu Haji Bejo Lojiwetan Solo. Daging kambing yang sudah dicincang dan diberi bumbu ramuan rempah khas Surakarta, dibungkus dengan lapisan lemak omentum, dan dibakar di atas bara arang dengan sesekali diolesi minyak dan kecap.

Saat dibakar itu aromanya haruuuuum sekali. Kulit pembungkus sate buntel itu akan berkilauan dengan lemak yang menetes-netes dan mulai berwarna coklat keemasan karena reaksi Maillard dari karamelisasi gula dalam kecap yang menjadi bumbu oles. Rasanya berbanding lurus dengan aromanya, lezaaaaaat sekali. Terlebih jika sebelum disuap, di “blonyohi” terlebih dahulu dengan sambal kecap yang bertabur potongan rawit dan bawang merah. Surga duniapun segera saja tergelar sempurna di otak saya.

Demikian pula reaksi saya saat menyuap potongan shish kebab untuk pertama kalinya, kendali kuasa umami segera saja menjajah alam pikiran sadar saya. Saya terkooptasi sempurna dan dengan sukarela, ikhlas menjadi budak rasa yang bersedia dipecut oleh cambuk selera. Nah sensasi itu pulalah yang saya rasakan saat pertama kali berjumpa dengan kokorec.

Kokorec atau Kokoretsi yang bahasa Albanianya kukurec, dan dalam bahasa Yunani κοκορέτσι, adalah hidangan khas Balkan dan Asia Kecil, yang terdiri dari usus domba atau kambing yang diisi berbagai jenis jeroan seperti hati, paru-paru, atau ginjal, dan dipanggang di atas bara sampai lemaknya meleleh dan menetes-netes. Bentukannya seperti sebuah sosis raksasa. Usus domba menyusui adalah pembungkus sosis premium Kokorec. Karena selain empuk dan lembut, ada cita rasa khas yang mungkin dipengaruhi oleh profil hormonal di masa laktasi ya.

Mengacu kepada pendapat ahli bahasa Turki-Armenia, Sevan Nişanyan, kukurec dalam bahasa Albania adalah kata pinjaman atau serapan yang berasal dari kata dalam bahasa Serbo-Kroasia dan Bulgaria; kukuruza, artinya adalah tongkol jagung dalam bahasa-bahasa tersebut. Bahasa Turki menyebutnya kokoreç yang berasal dari bahasa Yunani modern kokorótsi. Dan kalau dalam bahasa Sunda anda menemukan kata kokoret itu tidak berhubungan dengan makanan ya, melainkan kata kerja untuk kegiatan membersihkan rumput liar di ladang atau kebun.

Tapi bisa juga untuk menggambarkan, perilaku seseorang yang sampai mencari-cari dan mengambil sisa-sisa makanan di wadah makanan yang isinya sudah habis, saking lezatnya makanan tersebut.

Kokoreç di Istanbul terbuat dari usus domba yang masih menyusui (süt kuzusu) adalah yang paling disukai untuk hidangan ini. Kokoreç dapat dinyatakan sebagai warisan budaya Ustmaniyah atau Ottoman yang mengadaptasi budaya kuliner kaum penggembala di padang-padang Asia Tengah. Ada banyak cara untuk memasak Kokorec, salah satunya adalah memanggangnya dengan tusuk sate ala Döner. Bagian usus ditumpuk menjadi satu sehingga tampak berlapis-lapis. Jenis ini banyak dijumpai di kedai pedagang kaki lima. Metode pemanasan yang paling populer adalah dengan api arang yang memberikan cita rasa yang lebih beragam. Setelah matang, kokorec dipotong dan dimasukkan ke dalam roti Turki (somun) yang sudah dibelah. Tomat atau rempah-rempah dapat ditambahkan ke dalamnya.

Kokoreç yang disajikan sebagai roti lapis dikenal sebagai Yarım Ekmek Kokoreç (Roti Setengah) atau Çeyrek Ekmek Kokoreç (Roti Seperempat). Pada saat yang sama, kokoreç dapat disajikan tanpa roti, di atas piring, sebagai lauk atau makanan utama. Kokoreç biasanya disajikan dengan Ayran sebagai minuman pendampingnya.

Varian lain dari kokorec pernah saya lihat di suatu pasar di Tashkent, ibukota Uzbekistan. Hanya saja bukan usus domba menyusui yang menjadi pembungkus sosis raksasanya, melainkan usus kuda.

Kembali ke tepi jalan di Times Square itu, sepotong daging shish kebab yang baru saja saya gigit menghadirkan harmoni rasa rempah yang intens, lemak yang meleleh, dan serat otot daging yang empuk. Namun saya menyadari sepenuhnya, bahwa di balik kenikmatan kuliner itu, tersimpan serangkaian proses biokimia yang rumit. Tubuh kita akan secara sistematis memecah lemak dan protein di dalam daging tersebut hingga menjadi molekul-molekul sederhana seperti asam lemak dan asam amino. Proses ini melibatkan berbagai enzim dari saliva hingga usus halus dan melibatkan peran hormon, transport protein, serta jalur metabolisme di tingkat sel dan molekuler. Inilah kisah di balik setiap suapan shish kebab.

Daging shish kebab pertama kali memasuki mulut, di mana gigi melakukan mastikasi (pengunyahan) untuk menghaluskan daging menjadi bolus (gumpalan) kecil. Air liur (saliva) yang diproduksi oleh kelenjar ludah mempercepat proses ini. Walaupun air liur lebih dikenal karena kandungan enzim amilase (sering disebut ptialin), yang fungsinya lebih dominan pada pemecahan karbohidrat, saliva juga membantu melunakkan makanan dan memulai pemecahan protein di tahap awal melalui aktivitas enzim lisozim dan berbagai protease dalam kadar minimal (Smith, 2022).

Secara umum, pemecahan protein dan lemak belum terjadi secara intensif di rongga mulut. Tugas utama air liur di sini adalah melumasi dan menyiapkan bolus untuk ditransportasikan melalui kerongkongan ke lambung. Kendati demikian, tahap ini tetap krusial karena semakin baik makanan dikunyah, semakin efisien enzim-enzim pencernaan dapat bekerja di tahap berikutnya (Lehninger, Nelson, & Cox, 2017).

Sesampainya di lambung, bolus akan bercampur dengan asam klorida (HCl) dan enzim pepsin. Asam klorida membuat suasana lambung menjadi sangat asam (pH sekitar 1,5–2,5), sehingga membantu membuka struktur tersier dan kuaterner protein dalam daging, menjadikannya lebih rentan terhadap pemecahan. Di sisi lain, pepsin, yang diaktifkan di lingkungan asam, mulai memotong rantai polipeptida menjadi potongan-potongan pendek yang disebut peptida (Smith, 2022).

Sementara itu, lemak belum terlalu banyak dicerna di lambung. Daging shish kebab umumnya mengandung cukup banyak lemak, tetapi enzim lipase lambung hanya memiliki aktivitas terbatas. Pemecahan lemak secara masif baru akan terjadi di usus halus.

Ketika makanan memasuki duodenum (bagian awal usus halus), hormon kolesistokinin (CCK) dilepaskan untuk merangsang kantong empedu melepaskan empedu, serta pankreas untuk melepaskan lipase pankreas, protease pankreas (seperti tripsin dan kimotripsin), serta enzim pendukung lainnya (Wang & Liu, 2018). Empedu mengemulsi lemak menjadi partikel-partikel kecil (misel), sehingga lipase pankreas dapat memecah lemak menjadi asam lemak bebas dan monogliserida.

Untuk protein, enzim tripsin dan kimotripsin akan membantu kerja pepsin dengan memecah sisa rantai polipeptida menjadi peptida pendek dan akhirnya menjadi asam amino. Selanjutnya, asam amino dan asam lemak diserap melalui dinding usus halus dengan bantuan transporter khusus yang menyalurkannya ke dalam aliran darah atau sistem limfatik (Lehninger, Nelson, & Cox, 2017).

Setelah diserap, asam amino dan asam lemak diedarkan lewat aliran darah. Asam lemak, karena sifatnya yang hidrofobik, biasanya bergabung dengan protein pembawa (seperti albumin atau membentuk kilomikron) agar dapat diangkut dalam sirkulasi (Wang & Liu, 2018).

Di dalam sel, asam amino dapat digunakan untuk mensintesis protein baru, mulai dari enzim hingga antibodi. Bila berlebih, asam amino dapat mengalami deaminasi untuk diubah menjadi senyawa intermediat di jalur glukoneogenesis atau siklus asam sitrat, tergantung kebutuhan energi sel.

Sedangkan asam lemak bebas masuk ke mitokondria sel untuk dioksidasi lewat proses β-oksidasi yang menghasilkan asetil-KoA. Asetil-KoA inilah yang selanjutnya memasuki siklus asam sitrat (juga disebut siklus Krebs) untuk menghasilkan ATP (energi sel). Sebagian asam lemak juga disimpan sebagai trigliserida dalam jaringan adiposa atau di otot sebagai cadangan energi.

Baik protein maupun lemak berkontribusi pada produksi ATP melalui jalur metabolisme sel. Lemak cenderung menjadi sumber energi jangka panjang yang lebih efisien, sedangkan protein lebih dioptimalkan untuk perbaikan jaringan dan sintesis biomolekul.

Asam amino memiliki peran penting dalam proses pembentukan enzim, hormon, hemoglobin, dan komponen seluler lain. Kekurangan asam amino esensial dapat berdampak negatif pada sintesis protein tubuh (Smith, 2022). Beberapa asam amino dapat bertindak sebagai prekursor hormon dan neurotransmiter. Sedangkan asam lemak tertentu (misalnya asam lemak omega-3 dan omega-6) berperan dalam pembentukan eikosanoid, yang merupakan molekul sinyal penting dalam proses inflamasi dan sistem imun (Wang & Liu, 2018).

Tentu selain terkagum-kagum pada sensasi rasa umami nan gurih yang bisa dirasakan dari kokorec, sate buntel Bu Haji Bejo, dan juga shish kebab, saya juga berpikir bahwa makanan-makanan enak ini tergolong tinggi lemak. Dimana lemak asal kadarnya sesuai dengan kebutuhan dan dikonsumsi secara proporsional seimbang dengan penggunaannya dalam mekanisme fisiologi dan biokimia tubuh kita, tentu tidak akan berdampak negatif. Tapi ada baiknya kita pelajari juga ya perjalananya di dalam tubuh kita.

Proses pengolahan lemak yang bersumber dari makanan dimulai dari duodenum, di bagian awal usus halus inilah cairan empedu (yang diproduksi hati dan disimpan di kantong empedu) menyambut bolus makanan dari lambung. Cairan empedu bertindak seperti deterjen yang “mengemulsi” lemak, memecahnya menjadi butiran-butiran kecil (misel), sehingga enzim lipase pankreas bisa memotongnya menjadi asam lemak dan monogliserida. Setelah terpecah, asam lemak dan monogliserida pun siap diserap oleh dinding usus halus dan masuk ke dalam sel epitel usus.

Sesaat setelah melewati dinding usus, asam lemak dikemas bersama dengan protein dalam bentuk kilomikron, ibarat paket lemak yang siap dikirim ke berbagai jaringan. Kilomikron ini kemudian mengalir dalam sistem limfatik, lalu masuk ke aliran darah. Di sinilah perjalanan lemak mulai lebih “kompleks”.

Selain kilomikron, tubuh juga mengenal berbagai partikel lipoprotein lain, antara lain, VLDL (Very-Low-Density Lipoprotein) yang diproduksi di hati, dan bertugas mengantarkan trigliserida ke jaringan. Lalu ada LDL (Low-Density Lipoprotein) yang ketika kadarnya berlebih dapat teroksidasi dan memantik jejas atau cedera di dinding pembuluh darah (endotel). Ada pula HDL (High-Density Lipoprotein) yang membantu mengangkut kolesterol berlebih kembali ke hati.

Setiap jenis lipoprotein itu mencerminkan profil lemak dalam darah kita, berapa banyak trigliserida, kolesterol, dan fosfolipid yang diangkut. Pada pemeriksaan darah, inilah yang kelak terlihat sebagai profil lipid atau profil lemak darah (termasuk LDL, HDL, total kolesterol, dan trigliserida).

Meskipun asam lemak dan trigliserida telah didistribusikan ke berbagai sel, hati (hepar) adalah “markas besar” untuk mengolah nutrisi. Bayangkanlah hati sebagai sebuah pabrik raksasa yang selalu sibuk. Saat tubuh memerlukan lebih banyak lemak (misalnya untuk cadangan energi), hati akan memproduksi asam lemak baru melalui proses yang disebut lipogenesis (biosintesis asam lemak). Dimana semua proses produksi itu berawal dari Asetil-KoA, molekul berkarbon dua yang dihasilkan di mitokondria; baik dari pemecahan karbohidrat (glikolisis) maupun pemecahan protein dan lemak itu sendiri. Namun, untuk sintesis asam lemak, Asetil-KoA perlu “keluar” ke sitoplasma. Caranya, Asetil-KoA berikatan dulu dengan OAA (oksaloasetat) membentuk sitrat. Molekul sitrat ini melintasi membran mitokondria, kemudian dipecah kembali menjadi Asetil-KoA dan OAA oleh enzim ATP-sitrat liase di sitoplasma.

Selanjutnya enzim Asetil-KoA Karboksilase (ACC) akan mengubah Asetil-KoA menjadi Malonil-KoA dengan bantuan ion bikarbonat (HCO₃⁻) dan ATP. Bagi tubuh kita, Malonil-KoA adalah “versi siap pakai” yang nanti akan digunakan untuk memperpanjang rantai karbon dalam proses biosintesis.

Selanjutnya, enzim Fatty Acid Synthase (FAS) menggabungkan unit karbon dari Malonil-KoA secara bertahap, menambahkan dua atom karbon di setiap putaran, hingga terbentuk asam palmitat (C16:0) sebagai produk utama. Proses ini membutuhkan energi dan elektron dari NADPH (seringkali berasal dari jalur pentosa fosfat).

Ketika rantai asam lemak sudah mencapai panjang tertentu, hati bisa memodifikasinya lebih lanjut dengan memperpanjang rantai (elongation) atau menambahkan ikatan rangkap (desaturasi). Hasil akhirnya bisa berupa asam stearat (C18:0), asam oleat (C18:1), atau jenis asam lemak lainnya.

Asam lemak dapat dioksidasi di mitokondria sel otot dan jaringan lain melalui β-oksidasi, menghasilkan ATP. Bila tidak dipakai segera, asam lemak disimpan sebagai trigliserida dalam sel lemak (adiposit). Asam lemak tertentu dapat menjadi prekursor eikosanoid (molekul pengatur inflamasi/proses peradangan), sedangkan kolesterol dapat diubah menjadi hormon steroid.

Ketika hati memproduksi asam lemak dan trigliserida melebihi kebutuhan, ia akan memaketkannya dalam bentuk molekul VLDL dan melepaskannya ke aliran darah. Penumpukan VLDL diikuti oleh proses pemecahan yang menghasilkan LDL. Jika pola makan tinggi lemak dan karbohidrat sederhana terus berlanjut, kadar LDL meningkat, yang dapat meningkatkan resiko aterosklerosis (penebalan pembuluh darah). Di sisi lain, HDL akan menyerap kolesterol berlebih di jaringan, lalu mengembalikannya ke hati agar dapat dibuang atau diubah menjadi asam empedu. Inilah sebabnya HDL kerap disebut sebagai kolesterol pemelihara, karena membersihkan kelebihan lemak di dinding pembuluh darah.

Jadi kalau kita banyak jajan sate buntel, shish kebab, dan kokorec, agar kadar HDL tetap dapat terjaga dan peran pemelihara dinding pembuluh darahnya tetap dapat berjalan dengan baik, jangan lupa perbanyak juga mengonsumsi asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) dan ganda (PUFA) yang dapat membantu meningkatkan kadar HDL. Sumbernya antara lain adalah buah alpukat kacang Mete, ikan Lemuru dan Muncar Banyuwangi, ikan Kembung, dan juga hasil penelitian kami ikan Bandeng. Ikan air payau berspesies Chanos chanos sp yang memiliki kandungan DHA dan EPA jauh lebih tinggi dari ikan Salmon Norwegia atau Alaska sekalipun.

Perbanyak juga konsumsi serat larut dari sayur, buah, ataupun rumput laut, juga bekatul. Karena serat larut dapat membantu proses pengelolaan lemak darah dari fase paling awal di usus halus. Olahraga seperti jalan kaki, berenang, dan bersepeda setidaknya 30 menit per hari, 5 hari per minggu, terbukti dapat membantu meningkatkan HDL. Sedangkan aktivitas aerobik dapat meningkatkan enzim lipoprotein lipase, serta membantu metabolisme lemak lebih efisien. Latihan beban (weight training), seperti angkat beban atau latihan kekuatan dengan resistance band, juga dapat berkontribusi dalam mengoptimalkan profil lipid.

Suplementasi vitamin B3 atau Niasin yang bisa didapatkan dari “rambut jagung”, juga dapat membantu perbaikan kadar HDL. Maka kalau merebus jagung dengan ” rambut”nya, air bekas tebusannya jangan dibuang, kita minum agar dapat kandungan Niasinnya. Di sisi lain stres psikis juga dapat mempengaruhi sistem endokrin dan metabolisme lemak, maka banyak bersyukur dan tafakur serta tadabbur adalah cara yang cukup efektif untuk meningkatkan kualitas hidup kita bersama. 🙏🏾🙏🏾🙏🏾

Bacaan Lanjut

1. Lehninger, A. L., Nelson, D. L., & Cox, M. M. (2017). Lehninger Principles of Biochemistry (7th ed.). W. H. Freeman.

2. Smith, R. N. (2022). Protein digestion and absorption in humans: a modern overview. Journal of Nutritional Science, 11, ed42.

3. Wang, Q., & Liu, Y. (2018). Lipid metabolism in health and disease. Cell & Molecular Life Sciences, 75(5), 842–857.

4. Freedman, D. S., & Croft, J. B. (2017). The contribution of cholesterol and fats to the risk of atherosclerosis. Circulation, 135(9), 887–894.

5. Stipanuk, M. H., & Caudill, M. A. (2019). Biochemical, Physiological, and Molecular Aspects of Human Nutrition (4th ed.). Elsevier.

6. Grundy, S. M., Stone, N. J., Bailey, A. L., et al. (2018). 2018 AHA/ACC Guideline on the Management of Blood Cholesterol: Executive Summary. Journal of the American College of Cardiology, 73(24), 3168–3209.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts