Di penghujung Subuh, tepat di pertengahan bulan Ramadhan, saya berdiri di atas puncak bukit kecil kesadaran. Kesadaran milik seorang makhluk kecil tanpa daya yang kerap bergelut dengan makna, semata hanya untuk mengenal rasa yang banyak disebut sebagai cinta.
Cinta dan kala serta massa yang membuat kita merasa, mungkin hanya sekedar prasyarat untuk hadir dan ada. Eksistensi di titik nadir pikir lah yang sebenarnya akan meniadakan segenap terali materi yang memenjarakan kita dalam sensasi.
Harus diakui, kita adalah napi. Napi dari LP alias Lembaga Pemanusiaan yang membuat kita berkutat dalam berbagai bentuk interaksi yang membuat kita mengenal posisi; terdiametral dalam quadran rasa yang melahirkan suka dan tidak suka, lalu pada gilirannya preferensi dan motivasi dalam ranah emosi yang kelak dapat memegang kendali “kuda-kuda” kognisi.
Harus diakui pula, bahwa kita adalah makhluk konseptual yang membangun jatidirinya melalui konsensus persepsi.
Kita dan semesta yang terikat janji setia pada rencana yang telah terpatri pada “DNA” setiap makhluk-Nya. Setiap makhluk yang apapun materi cangkangnya, ataupun di dimensi mana ia berada, adalah bagian dari suatu RENCANA, sebagaimana juga semesta dan meta semesta raya yang “kita kira” hadir dan ada. Kita pikir semesta itu “ada”, padahal mungkin kita pandir, dan kurang berzikir. Karena mungkin saja semesta itu pada hakikatnya tidak ada. Karena berpikir ada itu tak perlu menjadi ada bukan? Meyakini “ada” itu lain persoalan.
Dunia yang ada dan tiada dapat saja tercipta semata karena kita berpikir dan merasa. Semua sensasi tak perlu materi, demikian pula memori dan persepsi. Bahkan di otak kita, semesta ini hanyalah persoalan proporsi dua ion kecil yang bernama natrium dan kalium, hanya Na+ dan K+. Dua ion yang menari dan tertawa-tawa saat menerima cahaya yang jatuh di retina, dan mereka melukisnya menjadi aneka bentuk dan warna, lalu rasa, yang dapat berlanjut menjadi cinta.
Maka sah-sah saja, ketika sebagian manusia yang dikaruniai “kemampuan membaca tanda” atau ulil albab, merangkai puzzle cerita berdasar logika matematika yang runut, runtut, dan terbebas dari silang sengkarut premis subjektif dengan pola tak berurut; “menulis ulang” sejarah alam semesta.
Karena dalam semesta relatif yang saat ini kita rasa kita diami ini, semua adalah MASA LALU. Karena semua yang bisa kita RASA dan kemudian TAHU itu adalah masa lalu. Setidaknya akan selalu ada jarak antara fakta dengan konsep nyata di benak kita yang dipisahkan oleh Kecepatan Cahaya. Batas kecepatan yang pernah ada di semesta menurut fisika manusia.
299.792.458 m/s adalah jarak terdekat kita dengan masa kini. Karena apapun yang kita rasa terjadi saat ini, tidak mungkin lebih dekat dan cepat dibanding angka kecepatan cahaya itu. Senya yang kita rasakan dan hadir sebagai sensasi keberadaan dan konsep masa/saat ini secara faktual adalah masa lalu yang berjarak 299.792.458 meter/detik. Karena secara asumsi tak ada informasi yang dapat datang lebih cepat dari batas di angka itu. Angka kecepatan cahaya.
Contoh termudah untuk memahami konsep ini adalah ketika kita melihat bintang. Alfa dan Proxima Centaury yang kita lihat malam tadi, adalah dua bintang yang berasal dari 4 tahun lalu. Dongeng dari masa lalu yang dibawa oleh paket Quanta bernama cahaya yang punya dualisme gelombang dan partikel yang terorkestrasi menjadi Simfoni yang Indah sebagaimana judul lagu yang dinyanyikan Once Mekel.
Sebagaimana juga simfoni fotosintesis dan sejarah karbondioksida serta glukosa yang selalu terjadi 8-9 menit sebelum itu menjadi nyata. Karena matahari kita itu sejarah 8 menit yang lalu, pada saat kita merasa melihatnya saat ini. Jadi saat ini mungkin tidak ada. Karena semua adalah cerita, karena semua adalah fakta sejarah. Fakta berupa cerita yang kita yakini ada.
Maka berdasar logika dan cara berpikir matematika yang senantiasa mampu melihat pola, manusia merangkai cerita, termasuk soal semesta;
Di suatu “ketiadaan” yang tak terbayangkan, sekitar 13,8 miliar tahun lalu, sebuah titik singularitas yang lebih kecil dari atom, namun berisi seluruh energi dan ruang-waktu; tiba-tiba meledak. Inilah Dentuman Besar (Big Bang), titik permulaan segalanya. Dalam sepersekian detik, ruang-waktu mengembang secara eksponensial dalam fase inflasi kosmik, seperti balon yang ditiup hingga ribuan kali lipat dalam sekejap. Dari kekaosan fraktal energi murni ini, partikel-partikel pertama tercipta: quark, elektron, dan foton bergemul dalam sup primordial yang panas dan padat.
Selama 380.000 tahun berikutnya, alam semesta mendingin. Elektron dan proton akhirnya bersatu membentuk atom hidrogen, melepaskan cahaya purba yang kini kita kenal sebagai Radiasi Latar Kosmik (CMB); jejak fosil semesta yang masih terdeteksi sebagai bisikan gelombang mikro di angkasa. Dan dari rahim kegelapan inilah, cahaya pertama pun berpendar.
Gaya tarik antar “gumpalan materi”, atau gravitasi mulai merajut struktur. Awan hidrogen runtuh membentuk bintang-bintang pertama, yang hidup singkat lalu meledak sebagai supernova, menyebarkan elemen berat seperti karbon dan besi ke seluruh kosmos. Dari abu bintang inilah generasi bintang baru lahir, dan gumpalan materi mulai membentuk galaksi-galaksi yang berputar-putar.
Tapi ada sesuatu yang tak terlihat menggerakkan tarian semesta ini: materi gelap (dark matter). Partikel misterius yang tidak memancarkan cahaya ini membentuk 27% alam semesta, menjadi kerangka tak kasatmata yang menarik galaksi-galaksi menjadi gugusan raksasa. Tanpanya, Bima Sakti mungkin tak pernah maujud nyata.
Sementara itu, di abad ke-20, manusia menemukan kejutan lain: alam semesta tidak hanya mengembang, tapi percepatannya meningkat. Sebuah energi tak dikenal, energi gelap (dark energy), diduga mengisi 68% kosmos dan mendorong galaksi-galaksi saling menjauh seperti kapal di lautan yang terus berlayar melebar.
`Apakah ini “napas” ruang-waktu itu sendiri? Atau pertanda akhir yang tak terelakkan?`
Jika energi gelap terus mendominasi, alam semesta akan mengembang selamanya. Bintang-bintang padam, lubang hitam menguap, dan materi terurai menjadi partikel dingin yang tersebar di kegelapan abadi. Entropi mencapai puncaknya, hingga tak ada lagi panas, gerak, atau kehidupan. Big Freeze akan membunuh panas, atau kalori yang merupakan representasi energi, secara perlahan-lahan.
Sebaliknya jika gravitasi mendominasi maka alam semesta akan “tertutup”, ekspansi akan berbalik menjadi kontraksi. Galaksi-galaksi bertabrakan, suhu melonjak, dan semuanya kembali ke titik singularitas, dan mungkin memicu Big Bang baru. Skenario ini dikenal sebagai Big Crunch.
Bisa juga dalam perjalananya ke depan, semesta yang bak balon dimensi ini akan meletus saat ini tekanan berlebih di dalamnya. Jika energi gelap semakin kuat, ia bisa merobek struktur ruang-waktu itu sendiri. Galaksi, bintang, bahkan atom akan tercabik sebelum akhirnya vakum kosong yang sepi merajalela. Teori ini dikenal sebagai Big Rip.
Sementara dalam skenario paling spekulatif, alam semesta kita mungkin hanya “gelembung” sementara dalam multiverse. Jika vakum stabil di tingkat energi lebih rendah tiba-tiba tercipta, gelembung kematian atau catastropic bubble ini akan menyebar dengan kecepatan cahaya, mengubah hukum fisika dan menghapus segalanya dalam sekejap. Hipotesa ini dikenal sebagai peluruhan vakum quantum.
Meski teori dan hipotesa di atas terdengar sangat memukau dan bahkan menakutkan, alam semesta terbukti masih menyimpan begitu banyak misteri. Misal apa itu sesungguhnya dark energy/energi gelap? Lalu bagaimana menyatukan relativitas umum dengan mekanika kuantum? Apakah ada “alam semesta paralel” di dimensi lain? Jadi biarkanlah teleskop antariksa raksasa dan radio teleskop angkasa sebagaimana yang ada di kawah purba gurun Atacama beserta eksperimen partikel fundamental, terus menggali dan mencari jawaban melalui serangkaian proses pembuktian, sementara biarkanlah pula manusia lain, dengan segenap rasa keingintahuannya yang tak terpuaskan; berdiri di puncak bukit kesadarannya, dan menatap langit malam, seolah ingin membaca kisah hidup mereka sendiri dalam riak cahaya bintang gemintang yang bahkan sebagian di antaranya sudah lama mati.
Karena baik kita dan bintang, semua adalah masa lalu. Maka premis utama dari tulisan ini adalah : MASA KINI ITU TIDAK ADA, yang ada hanyalah MASA LALU dan MASA DEPAN yang akan kita tuju. Atau masa depan itu adalah ∆t.s dimana s= v/t, v nya adalah 299.792.458 meter per detik. Konsepsi ini tentu tidak berlaku bagi makhluk cahaya dan makhluk di seberang cahaya bukan ? Entitas yang tidak akan berjarak dengan masa lalu dan masa depan, entitas yang dapat eksis di dimensi di mana ruang dan waktu dan segenap apa yang ada di dalamnya; adalah sebuah rubik yang dapat digenggam dan diputar-putar.
Di penghujung cerita, tinggallah saya seorang diri di puncak bukit kesadaran yang tak seberapa tinggi, asyik masyuk termangu merenungi kenyataan yang akan selalu terlambat untuk disadari. Kenyataan bahwa kita itu hidup di masa lalu tapi sok tahu tentang masa kini dan masa depan. Maka masa lalu dan masa depan pada hakikatnya adalah KENYATAAN. Kenyataan yang mungkin saja tidak nyata bukan ? Karena kita dan semesta hanyalah RUBIK yang berada di dalam genggaman SANG PENCIPTA.
🙏🏾🙏🏾🙏🏾
Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.