Ngabubuwrite-1
Ramadhan adalah bulan kontemplasi yang bagi saya punya makna yang sangat mendalam. Waktu yang tepat untuk belajar menahan diri dan menjernihkan pikiran hingga berlatih untuk mengasah kemampuan dalam mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang logis dan berangkat dari objektivitas berbasis data.
Salah satu ujian terbesar kita sebagai manusia adalah kemampuan untuk ⓜⓔⓜⓑⓐⓝⓖⓤⓝ platform pengambilan keputusan yang dapat dengan selaras menyeimbangkan antara 🄺🄴🄱🅄🅃🅄🄷🄰🄽 dan 🄺🄴🄸🄽🄶🄸🄽🄰🄽, dimana kapasitas otak kita yang memang dikaruniai memori dan preferensi akan berkelindan untuk menelurkan afeksi.
Di mana kita punya kenangan dan kecenderungan menyukai sesuatu yang telah meninggalkan kesan mendalam bagi kita, yang terendapkan dalam kenangan setelah melalui serangkaian pengalaman.
Keinginan yang wajar tentu bagian dari pengembangan kebutuhan dengan sentuhan preferensi. Misal kita butuh makan sebagai asupan kalori dan protein untuk menghasilkan energi yang diperlukan untuk beraktivitas dan memperbaiki berbagai kerusakan jaringan dan organ tubuh dalam aktivitas keseharian kita. Tapi jika kita punya kemampuan dan kesempatan memilih makanan yang akan dimakan, maka dengan berbagai pertimbangan kita bisa saja memilih pecel, nasi goreng, atau lontong opor bukan?
𝙿𝚎𝚛𝚝𝚒𝚖𝚋𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚜𝚘𝚊𝚕 𝚔𝚊𝚗𝚍𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚗𝚞𝚝𝚛𝚒𝚜𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚎𝚜𝚞𝚊𝚒𝚊𝚗 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚋𝚞𝚝𝚞𝚑𝚊𝚗 𝚏𝚒𝚜𝚒𝚘𝚕𝚘𝚐𝚒 𝚔𝚒𝚝𝚊, 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚜𝚘𝚊𝚕 𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚕𝚎𝚛𝚊 𝚜𝚎𝚛𝚝𝚊 𝚔𝚘𝚗𝚍𝚒𝚜𝚒 𝚜𝚎𝚛𝚝𝚊 𝚜𝚒𝚝𝚞𝚊𝚜𝚒 𝚍𝚒 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚒𝚑 𝚖𝚊𝚔𝚊𝚗𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝; 𝚖𝚒𝚜𝚊𝚕 𝚍𝚒 𝚌𝚞𝚊𝚌𝚊 𝚑𝚞𝚓𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗, 𝚍𝚒 𝚍𝚊𝚎𝚛𝚊𝚑 𝚙𝚊𝚗𝚝𝚊𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚊𝚗𝚊𝚜, 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚝𝚞 𝚍𝚊𝚎𝚛𝚊𝚑 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚔𝚊𝚗𝚊𝚗 𝚔𝚑𝚊𝚜 𝚝𝚎𝚛𝚝𝚎𝚗𝚝𝚞. 𝙿𝚎𝚛𝚝𝚒𝚖𝚋𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚞 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚋𝚒𝚊𝚢𝚊 𝚊𝚝𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚍𝚒𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚔𝚞.
Maka pemenuhan kebutuhan dengan mengakomodasi keinginan itu tidak salah, mungkin yang keliru adalah saat keinginan “kebablasan” menjadi tuntutan yang harus dipenuhi, termasuk di saat kondisi tidak memungkinkan. Konsep ini yang secara hipotetikal dapat berkembang menjadi ⓟⓔⓡⓘⓛⓐⓚⓤ manipulatif dan 🄺🄾🅁🅄🄿🅃🄸🄵.
Soal keinginan dan kebutuhan ini, terutama terkait dengan masalah makanan saya punya cerita sendiri, cerita tentang Mangut Lele Pinggir Kali (Girli) Kutoarjo yang hampir selalu saya nikmati dalam perjalanan kereta api ke dan dari Jogja atau Solo ke arah barat melalui jalur selatan.
Di dalam gerbong kereta api Lodaya yang melaju dari Bandung menuju Yogyakarta, aroma pedas, gurih, dan smooky ikan lele membumbung dari kardus makanan yang baru saja saya buka. Mangut Lele Pinggir Kali atau akrab disebut “Girli” ini hadir dengan kuah santan kental berempah, cabai merah yang menggoda, dan potongan lele asap yang lezat. Setiap suapan nasi hangat yang dicelupkan ke kuahnya, ditambah kerupuk aci renyah dan sambal terasi yang membakar lidah, seolah menghentikan waktu. Di balik kenikmatan ini, otak saya sedang menjalankan simfoni neurobiologi rumit yang menjelaskan mengapa kuliner ini menjadi referensi kebahagiaan dalam setiap perjalanan saya.
Saat pertama kali saya menyantap Mangut Lele Girli, jalur mesolimbik di otak langsung bekerja keras. Ventral Tegmental Area (VTA); bagian otak tengah yang berfungsi untuk mengatur emosi, motivasi, penghargaan, dan perilaku kecanduan; membanjiri nucleus accumbens (NAc) dengan dopamin, neurotransmiter yang memicu perasaan senang dan motivasi untuk mengulangi tindakan. Rasa umami dari kuah santan dan lele asap, dipadu pedas cabai, menjadi stimulus yang sempurna. Otak saya seakan berteriak: “Ini enak banget! Ayo suap lagi, lagi, lagi!”
Dopamin tidak hanya membuat saya ingin menyuap lebih cepat, tetapi juga membentuk asosiasi kuat antara Mangut Lele Girli dengan momen kebahagiaan. Menurut teori pembelajaran Hebbian, setiap kali saya menikmatinya di atas kereta sambil melihat pemandangan sawah dan gunung melintas, neuron di hipokampus (pusat memori) dan NAc aktif bersamaan. Potensiasi jangka panjang (LTP) pun terjadi: koneksi syaraf yang merekam kenangan ini semakin kuat. Tak heran, aroma rempah mangut lele girli saja sudah cukup untuk membangkitkan nostalgia perjalanan berkereta di Tanah Jawa.
Selain dopamin, hedonic hotspots di ventral pallidum (area kecil di dekat NAc) ikut diaktivasi oleh lemak santan dan pedas cabai. Di sini, endorfin dan opioid endogen dilepaskan, menciptakan euforia mirip pelari yang baru menyelesaikan maraton, atau rasa lega saat terlepas dari kejaran seekor anjing di ujung desa. Sensasi pedas dari sambal terasi juga memicu pelepasan serotonin, neurotransmiter yang memberi rasa puas dan menenangkan.
Tak kalah penting, oksitosin, hormon ikatan sosial, ikut berperan. Meski saya menyantapnya sendirian, ritual memesan Mangut Lele Girli melalui aplikasi Access by KAI dan membayangkan pedagang di Kutoarjo yang memasaknya, menciptakan rasa terhubung dengan budaya kuliner lokal yang eksotik. Otak saya mengaitkan makanan ini dengan kehangatan interaksi manusia, sekalipun saya hanya memesannya melalui layar ponsel. Tapi dalam imajinasi saya terbayang sebuah warung pinggir kali, berdinding gedheg, dan di dalamnya terdapat tungku tradisional dengan kayu bakar, di mana di atasnya terdapat belanga-belanga dan wajan berisi aneka menu ndeso yang tengah dimasak.
Saat kereta yang saya tumpangi sedang berhenti di stasiun Cipendeuy prefrontal cortex (PFC) saya mulai menganalisa: “Apakah kali ini saya akan pesan Mangut Lele Girli lagi atau coba menu lain?” PFC, sebagai pusat pengambilan keputusan, menimbang “nilai reward” dari mangut lele girli dibanding opsi lain. Tapi amigdala, yang menyimpan memori emosional, langsung mengingatkan: “Jangan ! Sambalnya terlalu enak untuk dilewatkan, kuah santannyapun tak bisa kita dapatkan di tempat lain !”
Proses ini diperkuat oleh pembelajaran asosiatif, di mana otak kita telah menyimpan pola: `“Makanan ini = kepuasan + pemandangan indah + perjalanan yang menyenangkan.”` Akhirnya, ibu jari saya pun mengetik pesanan lagi di aplikasi.
Faktor genetik mungkin menjelaskan mengapa lidah saya begitu cocok dengan pedas mangut lele girli. Variasi gen reseptor dopamin D2 bisa membuat seseorang lebih sensitif terhadap reward dari makanan pedas atau gurih. Namun, jangan lupa, saya juga dibesarkan di budaya Nusantara yang mengolah rempah dengan santan sedemikian rupa hingga menghasilkan beraneka kuliner yang membentuk preferensi saya sejak kecil bukan? Nah konsep ini secara epigenetik akan mengaktivasi gen-gen tertentu di DNA saya, yang akan lebih condong menyukai dan mengikuti suatu preferensi tertentu.
Ritual menyantapnya di kereta api ; dengan nasi hangat, lalap segar, dan suara roda kereta berderak diselingi seruling semboyan 35; menjadi penguatan kontekstual yang punya peran amat signifikan. Ada vibe atau roso yang terangkum dalam paket pesan berupa suasana di kereta saat itu. Otak akan mengaitkan suasana perjalanan dengan kenikmatan mangut lele, mirip teori pengondisian klasik dari Pavlov. Bahkan, aroma kuah mangut lele girli yang tumpah sedikit di meja kereta saja bisa langsung membangkitkan air liur!
Selang beberapa hari kemudian, di perjalanan pulang ke Bandung dengan KA Malabar, saya membuka kotak mangut lele girli lagi. Hipokampus langsung memutar memori saat pertama kali saya mencicipinya: suasana siang menjelang sore di Kutoarjo, tawa penumpang lain, dan rasa takjub pada harmonisasi bumbu mangut, tiba-tiba tergelar seperti sebuah cerita yang tayang di layar cinema XXI teater IMAX. Plastisitas sinaps
; kemampuan otak memperkuat koneksi syaraf berdasarkan pengalaman, telah mengubah mangut lele girli dari sekadar makanan menjadi sebuah simbol semantik petualangan.
Saya amat bersyukur bahwa sistem reward otak saya masih bekerja normal. Pada penderita anhedonia (hilangnya kemampuan merasakan senang), kuah mangut lele girli mungkin hanya akan terasa seperti air garam belaka. Tapi bagi saya, setiap suapan adalah bukti bahwa neurobiologi kesenangan manusia, mulai dari dopamin hingga LTP (long term potentiation), telah merajut kisah sempurna antara rempah, budaya, dan perjalanan.
Mungkin di perjalanan KA berikutnya, saya akan mencoba memesan menu baru. Tapi kayaknya sih selama nucleus accumbens saya masih berdesir saat menatap foto Mangut Lele Girli di aplikasi Access, tampaknya pilihan saya akan tetap sama: “Mangut Lele Girli lagi aja kali ya!”
Tapi apa yang terjadi jika saya ingin sekali makan mangut lele girli tetapi saya sedang berada jauh dari Kutoarjo, sedang tidak naik kereta api, dan tak punya uang pula untuk membelinya? Normalnya saya belajar bersabar, menahan diri, dan berdoa semoga di waktu yang tepat saya dapat kembali menikmati kuliner yang satu ini bukan ? 𝚃𝚊𝚙𝚒 𝚔𝚎𝚛𝚊𝚙𝚔𝚊𝚕𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑, 𝚓𝚞𝚜𝚝𝚛𝚞 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚔𝚊𝚍𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊𝚢𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚐𝚊𝚕𝚊 𝚌𝚊𝚛𝚊, 𝚝𝚎𝚛𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚗𝚒𝚙𝚞𝚕𝚊𝚜𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚘𝚛𝚞𝚙𝚜𝚒 𝚜𝚎𝚜𝚞𝚊𝚝𝚞, 𝚊𝚐𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚙𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚔𝚖𝚊𝚝𝚒 𝚔𝚎𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒 𝚖𝚊𝚗𝚐𝚞𝚝 𝚕𝚎𝚕𝚎 𝚐𝚒𝚛𝚕𝚒 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚒𝚗𝚒 𝚓𝚞𝚐𝚊. 𝙺𝚎𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜 𝚝𝚎𝚛𝚙𝚎𝚗𝚞𝚑𝚒 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 _𝚜𝚊𝚔 𝚍𝚎𝚔 𝚜𝚊𝚔 𝚗𝚢𝚎𝚝_ 𝚊𝚕𝚒𝚊𝚜 𝚒𝚗𝚜𝚝𝚊𝚗.
> Kondisi semacam itulah yang pada gilirannya jika sering diperturutkan, akan mendorong terjadinya proses habituasi atau pembiasaan yang bermuara pada penguatan jalur neuronal yang berorientasi pencapaian tujuan sesaat dengan mengabaikan moral judgement dan rasionalitas pengambilan keputusan yang diikuti dengan menipisnya empati dan kepedulian sosial. Kita bisa jadi Raja Tega yang demi kepuasaan sesaat, rela menganiaya atau menzhalimi hak-hak orang lain.
Maka bulan suci Ramadhan adalah momentum yang pas bagi kita untuk melatih sistem pengambilan keputusan yang kaya empati, rasional, objektif, dan mampu mengakomodir moral judgement secara proporsional. 🙏🏾🙏🏾🙏🏾