|

Enam Gunungan Diarak dalam Tradisi Grebeg Besar Keraton Yogyakarta

Yogyakarta – Ratusan abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengarak enam gunungan hasil bumi dalam prosesi Hajad Dalem Grebeg Besar memperingati Idul Adha Tahun Je 1958/2025, Sabtu (7/6). Gunungan-gunungan ini diberangkatkan dari Bangsal Pancaniti, Keraton Yogyakarta, lalu diarak melewati Regol Brajanala, Sitihinggil Lor, dan Pagelaran menuju halaman Masjid Gedhe Kauman.

Tradisi Grebeg Besar Keraton Yogyakarta merupakan simbol sedekah raja kepada rakyatnya sekaligus wujud syukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Gunungan berisi hasil bumi, seperti sayur, kacang, hingga ketan dan telur, yang melambangkan kemurahan hati Sultan dan rasa syukur atas nikmat yang diterima sepanjang tahun.

Dalam filosofi Jawa hasil bumi berbentuk menyerupai gunung memiliki makna simbol keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Dalam filosofi Jawa hasil bumi berbentuk menyerupai gunung memiliki makna mendalam. Gunung adalah simbol keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Ia juga mencerminkan harapan agar seluruh masyarakat hidup dalam kemakmuran dan kelestarian.

Tradisi ini bukan sekedar seremoni, tapi juga penuh kesakralan. Dan setiap tahun ribuan warga bersama wisatawan akan tumpah ruah untuk menyaksikannya.

“Grebeg bukan sekadar perayaan, tetapi manifestasi filosofi masyarakat Yogyakarta yang menjunjung keteraturan, hormat pada pemimpin, dan syukur atas berkah,” ujar Penghageng Kawedanan Hageng Kridhomardowo Keraton Yogyakarta KPH Notonegoro.

Enam gunungan berisi hasil bumi ini tidak boleh lagi diperebutkan atau dirayah warga, namun dibagikan secara merata oleh para abdi dalem kepada masyarakat.
Enam gunungan berisi hasil bumi ini tidak boleh lagi diperebutkan atau dirayah warga, namun dibagikan secara merata oleh para abdi dalem kepada masyarakat.

Gunungan Hasil Bumi Tak Lagi Diperebutkan

Dalam prosesi pembagian gunungan ke Kompleks Kepatihan, pada tahun ini prosesi diwarnai dengan kembalinya tradisi “Nyadhong” yang selaras dengan tata cara pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Enam gunungan berisi hasil bumi ini tidak boleh lagi diperebutkan atau dirayah warga seperti tahun-tahun sebelumnya. Hasil bumi itu dibagikan secara merata oleh para abdi dalem langsung kepada masyarakat yang hadir.

Penyesuaian itu mengacu pada pranata adat lama. Mekanisme distribusi gunungan ini kembali seperti masa pemerintahan Raja Keraton Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan tidak dirayah atau diperebutkan dengan tujuannya untuk menjaga kesakralan dan kelancaran prosesi.

Notonegoro menambahkan, pembagian gunungan dilakukan satu per satu dan tidak dengan berebut sebagai wujud tata krama dan penghormatan terhadap tradisi dan tatanan kosmos.

“Tradisi Grebeg dimaknai bukan sekedar perayaan tetapi manifestasi filosofi Masyarakat Yogyakarta yang menjunjung keteraturan dan rasa syukur atas berkah,” kata Notonegoro.

Filosofi nyadhong menekankan penghormatan terhadap simbol kesejahteraan dan berkah dari raja kepada rakyatnya.
Filosofi nyadhong menekankan penghormatan terhadap simbol kesejahteraan dan berkah dari raja kepada rakyatnya.

Perubahan Pengiriman Gunungan

Selain itu, juga terjadi perubahan dalam pengiriman gunungan Grebeg Besar ini. Jika sebelumnya gunungan itu dikirim langsung dari Keraton Yogyakarta ke titik-titik yang dituju.

Misalnya untuk pengiriman ke Kompleks Kepatihan Pemerintah DI Yogyakarta, pada tahun ini Sekda DI Yogyakarta melakukan prosesi sowan ke Keraton Yogyakarta untuk menerima gunungan secara langsung. Baru setelah mengikuti arak-arakan menuju Masjid Gedhe Kauman untuk didoakan, gunungan akan dibawa ke Kompleks Kepatihan dan dibagikan kepada warga secara tertib.

“Jadi tidak ada utusan dari Keraton yang mengantar gunungan itu ke Kompleks Kepatihan, melainkan dari Kepatihan datang ke Keraton untuk nyadhong atau meminta gunungan, lalu dibawa pulang dan dibagikan,” ujar Notonegoro.

Prosesi ini kembali dilakukan untuk menjunjung nilai cadhong, yaitu pembagian secara tertib dan tidak dirayah atau rebutan. Filosofi nyadhong menekankan penghormatan terhadap simbol kesejahteraan dan berkah dari raja kepada rakyatnya.

Dalam prosesi kali ini, Keraton juga menampilkan rekonstruksi kehadiran prajurit putri Langenastra. Mereka tampil menari tayungan menuruni tangga Sitihinggil di belakang barisan Mantrijero saat lampah macak. Atraksi tersebut sebagai wujud menghidupkan kembali tradisi lama dari era kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Selama rangkaian prosesi Grebeg Besar, kawasan Keraton Yogyakarta diberlakukan sebagai zona larangan terbang (no fly zone) dari permukaan tanah hingga 150 meter. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga kelancaran serta memberikan penghormatan terhadap jalannya Hajad Dalem tersebut.****

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts

  • | | | | |

    Seni Tradisi Tari Badui Anak #1

    Tari Badui merupakan kesenian tradisional yang masih bertahan di Kabupaten Sleman, Dearah Istimewa Yogyakarta. Tari Badui menggambarkan prajurit yang sedang berlatih atau berperang. Pada awalnya, tari ini digunakan sebagai sarana syiar agama Islam. Namun, perkembangan jaman menjadikan tari ini lebih sebagai hiburan. Video ini merekam pementasan tari badui yang dibawakan oleh Kelompok Al Amin, Dusun…

  • | | | |

    Wasiat Mbah Maridjan Pasca Erupsi Merapi Yang Terbukti

    Satu dasawarsa telah berlalu, semenjak kepergian Mas Penewu Surakso Hargo atau yang lebih akrab dengan sapaan Mbah Maridjan. Beliau adalah salah satu sosok abdi dalem Keraton Kasultanan Yogakarta Hadiningrat yang mendapat amanah sebagai Juru Kunci Merapi. Pria yang lahir pada masa Kolonial Hindia Belanda ini diberikan amanah oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX sejak tahun 1982,…

  • | | | | |

    Wayang Jogja Night Carnival #2 | KAPI SUWEDA

    Tampil di urutan pertama Wayang Jogja Night Carnival ke-2 tahun 2017, Kecamatan Mergangsan menyuguhkan koreografi Kapi Suweda. Kapi Suweda merupakan tokoh wayang berujud wanara/kera berbulu hitam legam. Ia merupakan putra tunggal Prabu Sugriwa, raja kera negara Gowa Kiskenda dengan istri Endang Suwarsih, wanita pengidung dan pamong Dewi Anjani, kakak Prabu Sugriwa. Kapi Suweda sangat tekun…

  • | | | | |

    Wayang Jogja Night Carnival #2 | ANTASENA

    Antasena adalah putra Bima dan Dewi Urang Ayu. Tokoh ini paling sakti di antara tiga putra Bima. Jika Gatotkaca mampu terbang di udara dan Antareja mampu ambles bumi (hidup di bawah tanah), Antasena mampu terbang di udara, ambles bumi, dan menyelam. Sama seperti ayahnya, Antasena tidak bisa berbahasa santun (ngoko). Kendati demikian, Antasena berhati baik…

  • | | | |

    Bedhaya Herjuna Wiwaha

    Bedhaya Herjuna Wiwaha merupakan salah satu bedhaya atau tari klasik yang ada di KratonJogja. Ditarikan oleh sembilan perempuan, tari ini ini diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwono X. Tari ini bercerita tentang pengangkatan Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan HB X (Sultan Hamengku Buwono ke-10). Dipentaskan pertama kali di Bangsal Kencana pada tahun 2008. Tepatnya, pada saat kraton…

  • | | | | |

    Wayang Jogja Night Carnival #2 | KUMBOKARNO

    Meski keluar dari rahim yang sama, namun Kumbokarno memiliki watak yang berbeda dengan Rahwana, kakaknya. Kumbokarno jauh dari nafsu sahwat sedangkan Rahwana yang memiliki nama lain Dasamuka adalah sebaliknya. Puncaknya adalah ketika Rahwana menculik Dewi Sinta yang berujung pada perang antara Ayodia dan Alengka. Meski perang ini akibat kesalahan Rahwana sebagai raja, namun Kumbokarno tetap…