Makna Dibalik Tradisi Apeman di Keraton Yogyakarta
Yogyakarta – Kue tradisional Indonesia yang satu ini terbuat dari tepung beras, gula, ragi, dan kelapa, yang kemudian dikukus atau dipanggang. Teksturnya yang lembut dan kenyal dengan rasa manis. Dan seringkali disajikan dalam berbagai acara tradisional, termasuk acara keagamaan. Namanya, kue apem.
Dalam tradisi Jawa, kue apem juga memiliki makna yang mendalam, bahkan menyimpan nilai budaya dan historis yang tak banyak diketahui orang.
Kue apem merupakan salah satu panganan yang wajib disajikan pada salah satu tradisi di Keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah tradisi Hajat Dalem untuk memperingati hari ulang tahun kenaikan tahta Sultan Hamengkubuwono X, setiap tanggal 29 Rajab.

Istimewanya, pembuatan kue apem dalam tradisi ini dipimpin oleh putri-putri raja dan abdi dalem keparak. Proses pembuatan apem yang dilakukan di keputren diawali dengan prosesi ngebluk dan ngapem, di sini lah eksistensi kue apem terlihat.
Menurut KMRT Jatiningrat Penghageng Kawedanan Hageng Pengulon Keraton Yogyakarta, putri-putri Hamengkubuwono X biasanya mempersiapkan kue apem di teras Sekar Kedaton.

Ngebluk merupakan upacara membuat adonan yang nantinya dimasak menjadi apem. Proses ini memakan waktu cukup panjang hingga seharian lamanya. Ngebluk berasal dari suara “bluk” yang ditimbulkan saat pengolahan adonan kue apem sedang dilakukan.
“Kalau putri dalem terlibat yang kelihatan menonjol mereka ikut meramaikan pembuatan apeman dan numplak wajik itu. Itu sebetulnya para putri dalem pertama karena semua putri sehingga akan lebih luwes memimpin sesuatu acar-acara yang memang sangat fundamental,” ujarnya.

Kue apem yang dibuat memiliki 2 ukuran, yaitu ukuran kecil dan besar. Kue apem berukuran kecil biasa dibuat oleh permaisuri dan putri dalem atau putri Sultan Hamengkubuwono X. Sementara, apem mustaka yang berukuran besar dibuat oleh sentana dalem putri yang telah menopause. Apem mustaka ini nantinya akan disusun sesuai dengan tinggi badan Sultan.
“Bentuknya kalo kita perhatikan bentuknya dasar, setiap acara yang berkaitan dengan syukuran dan niat-niat yang ada hubungannya dengan sang maha kuasa dari sisi budaya pasti ada apemnya,” tambah KMRT Jatiningrat.
Nantinya, kue apem juga akan dibagikan kepada kerabat, para abdi dalem, dan keluarga Sultan. Pembagian kue apem tersebut dilaksanakan dalam Upacara Sugengan yang dilaksanakan di Bangsal Kencana.

Kata Apem Berasal dari Kata Afuwun yang Artinya Minta Maaf
Kue apem konon berasal dari India dengan sebutan “Appam”. Kue ini diyakini diperkenalkan oleh Ki Ageng Gribig, yaitu keturunan Prabu Brawijaya yang kembali dari perjalanan ke tanah suci dengan membawa kue apem.

Ki Ageng dan salah satu murid Sunan Kalijaga kemudian membagikan kue apem kepada masyarakat sekitar. Dan, sejak saat itu membagikan kue apem menjadi budaya masyarakat Jawa untuk mengungkapkan rasa syukur dan momen-momen penting lainnya. Termasuk penyambutan 1 Muharram atau satu Suro bersama makanan lain berupa nasi tumpeng, ayam ingkung dan bubur merah putih.

Kata apem diyakini berasal dari bahasa Arab yaitu “affuan” atau “afuwwun” yang artinya pengampunan. Masyarakat Jawa yang kesulitan mengucap kata affuan kemudian menyederhanakannya dengan sebutan apem.
Dalam filosofi Jawa, kue apem adalah simbol pengampunan atau permohonan ampun dari berbagai kesalahan. Karena sebagai simbol pengampunan, kue apem juga menjadi kue wajib untuk acara megengan menyambut Ramadan.
Sama halnya dengan sejarah pada masa Wali Songo. Kue apem di lingkungan Keraton Yogyakarta menyiratkan simbol permohonan maaf atau ampunan. ****
Simak Juga Video Pilihan Jogja Archive:







