Warga Miliran Gelar Festival Nyekar Bareng untuk Usir Energi Negatif
Warga Miliran menggelar Festival Nyekar Bareng #7: Titir Keliling Kampung dan Reresik Sarean Miliran pada Selasa (31/12/2024) mulai Pukul 15.30 di Kampung Miliran, Muja-Muju, Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
Festival ini dimulai dari Pos Ronda RT 13 sampai Sarean Miliran. Kegiatan ini pun terbuka bagi seluruh warga Miliran dan siapapun yang ingin bergabung.
Panitia penyelenggara Dodok Putra Bangsa mengungkapkan nyekar atau ziarah bersama ke makam kampung menjadi ajakan bagi seluruh warga Miliran untuk memahami kembali posisi mereka sebagai warga sekampung, yang selama puluhan tahun terkotak-kotak dalam administrasi RT dan RW. Perjalanan menuju makam akan diawali dengan jalan kaki keliling kampung dengan membunyikan kentongan, mengusir aura negatif di hari terakhir tahun 2024, berharap 2025 akan lebih banyak aura positif yang akan membersamai warga kampung.
Selain itu kentongan dengan irama titir dipilih sebagai penanda undangan bagi seluruh warga untuk keluar rumah. Padahal, umumnya, bunyi kentongan lima kali berturut-turut (titir) digunakan untuk tanda telah terjadi peristiwa negatif, seperti pencurian. Namun, irama itu yang disepakati dengan mengubah maknanya menjadi tanda yang bersifat positif, yakni mengembalikan kerukunan dan kebersamaan warga kampung.
“Warga Miliran telah memposisikan fungsi sosial komunikasi dengan media kentongan untuk memperkuat sistem sosial yang semula bercorak patembayan menjadi kembali memuat semangat paguyuban,” ungkap.
Komunikasi dalam ritual ini tidak terbatas untuk membangun komunitas, tetapi juga untuk melestarikan nilai dan norma yang sudah ada sejak lama. Reresik dan nyekar bersama di makam kampung tidak hanya diharapkan dapat memperkuat relasi sosial antar warga, tetapi juga menghidupkan kembali komunikasi antara warga dengan anggota keluarga yang telah pergi mendahului, serta dengan leluhur kampung.
Para orang tua akan membantu anak-anak dan remaja yang terlibat menjelaskan sejarah dan garis silsilah keluarga. Semua akan belajar saling menghargai kehidupan, baik di kehidupan di dunia maupun kehidupan setelah mati. Penghormatan akan dilakukan dengan berdoa dan bersama-sama membersihkan lingkungan makam.
Ritual akhir tahun ini juga menjadi salah satu oasis kebersamaan warga kampung, yang kian hari makin sulit ditemukan di ruang publik Kota Yogyakarta. Kampung mampu menghindarkan warga dari keruwetan, kemacetan, kebisingan, kekotoran, hingga kriminalitas di jalan-jalan kota. Deret masalah yang tidak kunjung mampu diatasi oleh pemerintah daerah di tingkat kota dan provinsi tersebut, justru bisa diantisipasi secara komunal di lingkungan kampung.
Ketika pejabat kota meminta warga tetap di rumah dan mengalah kepada wisatawan yang menyesaki kota, warga Miliran justru mengajak semua tanpa kecuali untuk keluar rumah reresik dan nyekar bersama. Ketika Gubernur DIY menyuruh warga jangan mengeluh saat Yogyakarta makin riuh, warga Miliran justru membuka ruang interaksi agar setiap masalah dapat saling terkomunikasikan dan terselesaikan.
“Kota-kota kita dibentuk dari himpunan kampung-kampung yang dihidupi secara kolektif oleh warga. Kegagalan kota dan daerah menyediakan ruang dan kehidupan yang sehat dan adil bagi warga, semoga masih dapat terus dipenuhi melalui inisiatif-inisiatif kemandirian di lingkup kampung. Ketika setiap kampung mampu menguatkan pondasi yang sama, seperti yang berlangsung di Miliran, harapan perubahan yang dimimpikan untuk Yogyakarta semoga dapat segera terwujud nyata.”